Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Teodise dan Bencana

January 15, 2025 18:06
JJ. Rousseau (Foto: Istimewa)
JJ. Rousseau (Foto: Istimewa)

Albertus M. Patty *)

GEMPA bumi di Lisabon tahun 1755 yang menewaskan lima belas ribu jiwa, termasuk ibu dan anak-anak memicu kemarahan Voltaire. Dengan suara keras, Voltaire menyalahkan Allah yang membiarkan gempa bumi itu terjadi. “Bencana itu tidak perlu terjadi bila Allah tidak mengijinkannya,” katanya berapi-api.

Kemarahan Voltaire mendapat kritik keras dari J.J. Rouseau. Ia berkata tegas kepada Voltaire: “Jangan pernah salahkan Allah saat bencana tiba karena para korban bencana selalu datang kepada Allah memohon kekuatan dan penghiburan. Bila kau salahkan Allah, kemana lagi para korban bencana itu akan memohon?” Cerita ini untuk menggambarkan bahwa banyak orang bergumul tentang ‘why’ bencana terjadi.

Teodise
Ada beberapa respons orang terhadap penyebab bencana. Pertama, sebagian menuding Allah sebagai penyebab bencana. Bencana adalah cara Allah menghukum manusia. Saya ingat, saat tsunami melanda Banda Aceh, banyak rohaniawan mengatakan bahwa bencana tsunami itu adalah cara Allah menghukum orang Aceh yang berdosa dan tidak setia menjalankan hukum agamanya.

Cerita seperti itu ada juga di Alkitab. Saat para murid Yesus melihat seorang yang buta sejak lahirnya, mereka bertanya kepada Yesus “Siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya sehingga ia dilahirkan buta? (Yoh. 9:1-2). Pertanyaan ini muncul dari paradigma teologis bahwa sakit penyakit, termasuk bencana, adalah cara Allah menghukum umatNya.

Sikap teologis seperti ini sangat kejam dan tidak memiliki empati terhadap para korban. Bukannya ditolong, para korban justru dituding sebagai orang berdosa. Padahal saat bencana tsunami terjadi banyak anak-anak dan para nelayan tidak berdosa yang menjadi korbannya. Sikap teologis seperti ini mengasumsikan Allah sebagai tokoh bengis dan kejam. Allah akan langsung menghajar, menyiksa dan membunuh siapa saja yang melanggar perintahNya. Bila Allah sekejam itu, saya yakin, tidak ada satu manusia pun yang masih hidup karena semua manusia telah berdosa dan melanggar perintah Allah. Bila Allah ringan tangan menghukum para pendosa, saya percaya, gelombang tsunami akan diarahkan pertama-tama ke para elite politik dan aparat di Jakarta.

Sikap pertama inilah yang muncul saat terjadi bencana kebakaran di Los Angeles, Amerika Serikat. Sebagian orang menghubungkan bencana kebakaran itu dengan penistaan terhadap Allah yang dilakukan para selebriti dalam event mereka beberapa hari sebelumnya. Sebagian lain, menghubungkan bencana kebakaran di Los Angeles dengan sikap Amerika Serikat yang mendukung Israel yang menghancurkan bangsa Palestina di Gaza.

Bukannya berempati kepada para korban bencana kebakaran, orang-orang dengan paradigma teologis seperti ini justru menghakimi para korban bencana yang dianggap telah berdosa dan sedang menerima hukuman Allah.

Dalam perspektif teologis, mitos agamis ini dinamakan teodise. Teologi Teodise berpegang pada prinsip Allah itu adil. Allah punya niat baik dalam peristiwa apa pun di dunia ini. Sebaliknya, manusia itu jahat dan berdosa. Bencana adalah ‘peringatan’ Allah terhadap manusia yang jahat. Jadi, teologi ini berisi pembelaan terhadap keadilan Allah.

Sebaliknya, teologi ini menyalahkan korban bencana. Mitos teodise ini punya kelemahan yaitu tidak mampu menjawab pertanyaan: bila bencana merupakan azab dan hukuman Allah kepada orang jahat dan berdosa, mengapa anak-anak dan bahkan bayi yang tidak berdosa ikut menderita dan mati?

Sikap kedua, seperti Voltaire yang yakin bahwa kalau mau, Allah punya kuasa menghentikan bencana itu, tetapi Allah memilih bersikap diam. Allah adalah Deus Otiosus, Allah yang tidak aktif, yang apatis, tidak peduli dengan penderitaan manusia.

Kedua respons di atas adalah mitos agamis yang diciptakan untuk menjawab pertanyaan ‘why’ terhadap bencana. Respons seperti ini bersifat abstrak, spekulatif dan tidak memiliki empati serta bela rasa terhadap korban bencana.

How?
Bagaimana respons ketiga? Dalam respons ini orang tidak mau terjebak dalam teologi yang abstrak dan spekulatif dengan mencari jawaban ‘why’ terhadap bencana. Sebaliknya, mereka lebih fokus pada sikap ‘how’ terhadap bencana. Saat bencana di Portugal, Marquis De Pombal dipanggil oleh Kaisar untuk merespons bencana. De Pombal tidak mau terjebak pada pertanyaan ‘why’. Sebaliknya, dia mengajukan jawaban ‘how’ merespons bencana agar para korban segera mendapatkan bantuan.

Bagi De Pombal, rentetan kejadian alam seperti gempa bumi, banjir atau tsunami bisa terjadi kapan pun. Peristiwa alam itu terjadi karena kita semua tinggal dan hidup dalam dunia yang rapuh dan tidak sempurna. Dalam kerapuhan dunia ini, apa pun bisa terjadi. Peristiwa alam ‘biasa’ bisa serta merta berubah menjadi bencana. Tugas kita adalah mencari jawaban ‘how’ untuk mengantisipasi dan mengendalikan momen alam itu agar bencana itu bisa diminimalisir dan para korban bisa mendapatkan bantuan secepatnya.

Respons ketiga ini sangat kreatif, empatik dan mengembangkan bela rasa bagi sesama. Respons ketiga ini sebaiknya dimiliki dan dihayati oleh umat agama mana pun. Bencana bukanlah kesempatan untuk menghakimi dan menyalahkan siapa pun, termasuk menyalahkan Allah. Sebaliknya, bencana adalah kesempatan membangun respons yang kreatif dan cerdas, serta mempererat solidaritas dan cinta bagi sesama, apa pun agama dan etniknya.

Bandung, 14 Januari 2025

*) Religiositas dan Budayawan