HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Ternyata Bisa Tanpa Plastik

April 16, 2025 06:32
IMG-20250416-WA0004

Catatan Paradoks: Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Sejak deklarasi “Gerakan Bali Bersih Sampah Plastik” pada 11 April 2025, saya menyaksikan dua acara yang menggugah kesadaran saya tentang paradoks zaman ini.

Dua acara itu adalah perayaan yang melibatkan ratusan manusia, dua momen yang lazimnya bersahabat karib dengan sampah plastik sekali pakai—namun kali ini, tidak.

Pertama, pernikahan putri anggota DPR RI Nyoman Parta, 13 April, di Geria Taksu, Gianyar. Kedua, perayaaan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) ke-92, 15 April, yang digelar oleh KPID Bali di Ksirarnawa, Art Center, Denpasar.

Dua acara, satu semangat: tanpa plastik sekali pakai.

Di perayaan Harsiarnas, tak ada minuman dalam botol plastik, tak ada gelas plastik yang dibuang sembarangan.

Air minum disediakan dalam galon besar, disajikan dengan gelas kertas yang bisa terurai di tanah. Komsumsi dalam kotakan tetap hadir, tapi tanpa teman plastiknya.

Dan siapa sangka? Tak satu pun tamu mengeluh. Bahkan tampak senyum, seolah berkata: “Ah, begini pun mantap, tanpa plastik ternyata bisa”.

Saya membayangkan, bila ada 300 tamu undangan, dan tiap orang diberi satu gelas plastik—itu sudah 300 sampah dalam sekejap mata terbuang begitu saja.

Jika ada 100 acara model itu, maka 30.000 botol dan gelas plastik itu berserakan. Dalam seminggu, bulan, setahun, lima tahun, sepuluh tahun, ada berapa botol dan gelas plastik. Kenapa menghitung sampai sepuluh tahun, karena plastik sulit terurai. Dalam puluhan tahun, di laut, sampah plastik melaut, di darat menggunung.

Itukah yang harus diwariskan pada anak cucu kita? Pada perayaan Harsiarnas kemarin nyatanya nol. Bisa tanpa air kemasan plastik. Mengapa yang lain tidak?

Di resepsi pernikahan putri Bapak Nyoman Parta, politisi peraih suara terbanyak itu, kisah serupa terulang. Nyatanya juga nol. Tanpa air kemasan plastik. Dengan tanpa plastik, adat yang akrab dengan budaya, tampak lebih modern dan ramah lingkungan.

Pada acara dengan pola prasmanan itu, minuman disajikan dalam gelas kaca oleh petugas. Tak ada plastik, tak ada botol dan gelas plastik yang biasanya selalu jadi noda dan sampah pada hajatan yang melibatkan ratusan manusia.

Lalu, apa yang membuat sebagian orang mencibir gerakan ini? Apa yang membuat langkah bersih justru dipertanyakan?

Apakah karena gerakan ini lahir dari program kerja Koster-Giri? Apakah karena politik membuat kita silau pada niat baik? Diajak bersih lho……

Paradoksnya terang benderang: kita ditawari bersih, tapi kita nyinyir. Kita ditawari hidup tanpa sampah, malah kita bertanya sinis, seolah hidup bersih adalah ancaman.

Coba direnungkan, bukankah kita, rakyat, yang pertama kali akan menikmati Bali bebas dari plastik? Kalau tak setuju, diamlah, buktikan hasilnya. Nanti kalau tidak bisa bersih, saat itu berkoar-koar. Ini baru logis.

Jika ada yang merugi, industri plastik misalnya—apa urusannya dengan rakyat? Bukankah industri juga berkewajiban mengelola limbah yang ia hasilkan?

Jika ada UMKM yang terganggu gara-gara tak bisa menggunakan gelas atau botol plastik, bukankah bisa dikoordinasikan untuk dicarikan jalan keluar? Ingat ini gerakan Bali bersih sampah plastik, bukan mematikan usaha UMKM.

Barangkali ini wajah lain dari disrupsi. Ketika ajakan baik dibalas curiga, ketika yang menjanjikan kebaikan justru dianggap mengganggu keteraturan. Kita terbalik. Dunia kita dunia memang paradoks.

Tapi saya percaya, kita bisa. Jika mengelola tinja yang setiap hari kita hasilkan bisa hanya dengan teknologi sederhana bernama leher angsa—mengapa kita ragu mengelola plastik?

Bukankah toilet yang bersih dan nyaman hasil dari satu komitmen sederhana; kita mau bersih? Jika tinja mampu diubah, mengapa takut mengubah sampah jadi sejarah? (*)

Kita pasti bisa.

Denpasar, 16 April 2025