Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Teruna-teruni, Ogoh-ogoh dan Investasi Budaya

March 8, 2025 08:34
IMG-20250308-WA0050

Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Pada tanggal 29 Maret nanti, Bali akan memasuki heningnya Catur Brata Penyepian.

Sehari sebelumnya, malam Pangerupukan akan menjadi puncak hiruk-pikuk perayaan.

Jalanan penuh dengan suara gamelan, teriakan semangat, dan lautan manusia yang tumpah ruah menyaksikan pawai ogoh-ogoh.

Sebuah pesta budaya yang meriah, sebelum keheningan menyelimuti esok harinya.

Di seluruh Bali, ada 1.500 desa adat dan sekitar 4.000 banjar. Mereka bersiap menyambut malam itu.

Jika setiap banjar membuat satu ogoh-ogoh, maka akan ada sekitar 4.000 ogoh-ogoh yang diarak keliling desa.

Dengan biaya rata-rata Rp 10 juta per ogoh-ogoh, total investasi budaya ini mencapai Rp 40 miliar—angka yang luar biasa untuk sesuatu yang pada akhirnya dibuang dan dibakar.

Tapi apakah hanya itu? Tidak. Uang Rp 40 miliar itu hanyalah hitungan kasar. Belum termasuk keringat dan gotong royong teruna-teruni Bali yang menghabiskan waktu berbulan-bulan membuat ogoh-ogoh. Belum lagi makanan dan konsumsi yang disediakan oleh warga secara sukarela saat latihan metabuh dan membangun ogoh-ogoh. Belum termasuk semangat kolektif yang membuat mereka rela mengorbankan waktu dan tenaga demi satu malam perayaan.

Tanpa mereka disadari, Teruna-teruni Bali itu sedang mencharge roh budaya ke dalam Bali.

Ogoh-ogoh bukan sekadar patung raksasa yang diarak, melainkan salah satu simbol kekuatan budaya yang membuat wisatawan datang dan terus datang ke Bali.

Dari Pangerupukan yang gegap gempita hingga Nyepi yang penuh kontemplasi, inilah wajah Bali yang autentik, yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.

Apakah pemilik hotel, restoran, dan pelaku bisnis pariwisata menyadari bahwa kamar-kamar mereka terisi karena budaya ini? Sadarkah pemerintah pusat mendapat devisa dari kreativitas teruna-teruni Bali?

Sebanyak 66 persen ekonomi Bali ditopang olek sektor pariwisata yang bermula dari kreativitas anak-anak muda di banjar-banjar? Selain pantai dan indahnya alam Bali, karena budayalah wisatawan itu datang ke Bali.

Di sinilah paradoksnya. Bali menggerakkan ekonominya melalui budaya yang terus dirawat oleh masyarakatnya. Namun, siapa yang menanggung biaya pelestarian ini? Tengoklah masyarakatnya. Lihat Teruna-teruninya. Mereka merancang, membangun, dan mengarak ogoh-ogoh dengan biaya sendiri. Semoga ini bisa disadari dengan baik.

Seharusnya, pengusaha dan semua pihak lebih sadar akan korelasi antara budaya dan pariwisata ini.

Jika hotel-hotel bisa penuh karena upacara dan festival yang digerakkan oleh masyarakat, maka sudah sewajarnya ada kontribusi balik. CSR dari pengusaha seharusnya membantu biaya pembuatan ogoh-ogoh, sehingga masyarakat hanya perlu berkarya saja.

Dan setelah semuanya selesai, ogoh-ogoh itu pun dibakar dan dibuang. Rp 40 miliar yang menghidupkan jalanan di malam Pangerupukan lenyap dalam kobaran api.

Pernahkah ada yang mencoba untuk berpikir, jika uang sebanyak itu digunakan untuk beasiswa, bayangkan berapa banyak anak Bali yang bisa sekolah?

Jika uang sebanyak itu dialokasikan untuk membangun sekolah, berapa banyak ruang kelas yang bisa didirikan?

Dan partisipasi masyarakat yang luar biasa ini dilaksanakan setiap tahun.

Tradisi harus tetap hidup. Budaya harus tetap lestari. Tapi pertanyaannya: apakah kita harus selalu membakar investasi budaya ini tanpa mendapatkan imbalan yang setimpal?

Mestinya dibakar Rp 40 miliar, dikembalikan Rp 100 miliar dalam bentuk beasiswa atau yang lain oleh pengusaha pariwisata, oleh wisatawan.

Dengan memberikan Teruna-teruni beasiswa, bukankah mereka akan makin pintar, makin kreatif, makin banyak pengetahuannya membuat ogoh-ogoh makin bagus dan menarik lagi? Bukanlah Teruna-teruni kita lebih semangat untuk mencharge budaya dalam segala bentuknya?

Janganlah masyarakat Bali sibuk menchage budayanya, sementara pengusaha malah sibuk mengumpulkan pundi-pundi keuntungannya tanpa berpikir akan masa depan anak-anak Bali.

Jika semua pihak mau berpikir lebih jauh, mungkin sudah saatnya Bali mencari cara agar kreativitas dari ogoh-ogoh ini bisa memberikan manfaat lebih besar bagi generasi penerusnya.

Budaya tetap dijaga, namun tak hanya menjadi ritual semata—melainkan menjadi kekuatan ekonomi yang hasilnya benar-benar kembali dan dirasakan oleh masyarakat yang menjaganya.(*)

Denpasar, 8 Maret 2025