Oleh : Suroto
Direktur Cooperative Research Center (CRC), Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
HATIPENA.COM – Presiden Prabowo Subiyanto belum lama ini melontarkan ide mengenai rencana pengembangan Koperasi Desa (Kopdes). Kebijakan ini oleh banyak menterinya diglorifikasi sebagai sebuah kebijakan afirmatif untuk solusi atasi masalah masyarakat seperti kemiskinan dan tingkatkan kesejahteraan masyarakat terutama di pedesaan.
Sesungguhnya, ide Kopdes itu tidak perlu diglorifikasi berlebih lebihan, karena sejarah membuktikan, kegagalan pembangunan koperasi di Indonesia itu karena justru pemerintah itu menjadi terlalu berikan simpati yang berlebihan. Over sympaty. Sehingga koperasi yang hidupnya masih dalam pola dukungan kebijakan menjadi rapuh. Pada akhirnya gagal karena hanya jadi mainan para makelar proyek.
Masalah kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan itu masalah masalah makro. Tidak bisa dibebankan kepada lembaga baru yang masih dalam tataran ide semacam koperasi desa.
Upaya penghapusan kemiskinan memang bisa dikembangkan melalui koperasi, termasuk Kopdes, tapi bagaimana kebijakan sosial ekonomi itu akan berikan keuntungan dan manfaat umum untuk masyarkaat kalay pemerintah dalam praktiknya tunduk pada korporat kapitalis eksploitatif yang sebabkan kemiskinan struktural.
Kalau mau riil perangi kemiskinan dan kesenjangan itu misalnya bagi saham seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke rakyat, bagi kepemilikan akta saham riilnya melalui pengkoperasian BUMN. Bukan diprivatisasi seperti yang diatur dalam UU BUMN yang baru saja disyahkan akhir akhir ini.
Orang menjadi miskin itu karena ruang untuk rakyat mengkreasi kekayaan dan pendapatannya tidak ada. Semua ruang usaha selama ini dikuasai dan dibiarkan dimonopoli oleh pengusaha besar yang kongkalikong dengan elite pejabat pemerintahan dan politisi. Sehingga 4 keluarga konglomerat itu kekayaanya sama dengan rakyat Indonesia dari yang termiskin.
Bagaimana mungkin rakyat bisa keluar dari kemiskinan dan kesenjangan sosial ekomomi yang menganga lebar apalagi tidak ada proses transformasi besar ekonomi agar kekayaan itu dan pendapatan terdistribusi dengan adil ke masyarakat.
Jadikan koperasi dan termasuk ide Kopdes ini untuk tingkatkan peluang pendapatan masyarkat dengan dorong munculnya ide usaha usaha kreatif yang didukung serius. Misalnya, perintahkan ke bank BUMN (Himbara) untuk alokasikan rasio kredit mereka 60 persen ke usaha usaha anggota koperasi dan usaha skala mikro dan kecil yang dikonsolidasi melalui Kopdes. Jangan mentok terus rasio kredit bank BUMN, milik rakyat ini mentok di angka 20 persen untuk masyarkat usaha mikro dan kecil.
Selain itu upaya lain berupa pemberian privelege bisnis yang selama ini sudah dikangkangi oleh mafia konglomerat kapitalis juga dirasa perlu. Sebut misalnya alihkan distribusi pupuk subsidi dan gas melalui Koperasi desa.
Koperasi itu lembaga otonom dan mandiri, lembaga swasta. Jadi pendekatan kebijakan itu harus riil bukan hanya berupa pidato dan slogan. Bagaimana agar akses sumberdaya ekonomi itu dapat dilakukan oleh masyarakat melalui koperasi.
Hari ini, koperasi kita itu ditinjau dari kontribusinya itu masih sangat kecil dibandingkan dengan kue ekonomi nasional. Sepuluh tahun terakhir, rata rata kontribusi ekonominya dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) tidak lebih dari 2 persen. Jadi hanya jadi slilit ekonomi saja. Jauh dari slogan soko guru ekonomi yang selama ini dikoar-koarkan pejabat. (*)
Jakarta, 11 Maret 2025