Oleh ReO Fiksiwan
“Pembangkangan adalah fondasi sejati kebebasan. Orang yang taat harus menjadi budak.“ — Henry David Thoreau (1817-1862), Civil Disobedience (1849).
HATIPENA.COM – Tubuh Affan Kurniawan (21) tak sempat menghindar dari roda baja rantis Brimob yang melaju di depan gerbang DPR RI.
Dalam hitungan detik, suara dentuman besi dan jeritan massa berubah menjadi sunyi yang mengerikan.
Sunyi yang kemudian menjalar menjadi amarah, membakar kota demi kota, dari ujung Sumatera hingga pelosok Papua.
Sepuluh nyawa lainnya menyusul Affan, terenggut dalam gelombang kerusuhan yang tak lagi bisa dibendung oleh pagar kawat, gas air mata, atau pidato pejabat yang kehilangan makna.
Dan korban untuk polisi hanya menjerat Kompol Kai Gue Lao dengan hukuman pecat dari karir kepolisian yang dirintisnya dengan tekun sejak lama. Seperti dikeluhkan sanak keluarganya dengan tangis pula via laman facebook.
Lainnya lagi, beberapa polisi yang dianggap berhasil melakukan kendali lapangan diperintahkan oleh Presiden Prabowo kepada Kapolri agar dianugrahi kenaikan pangkat. Absurd!
Apa yang terjadi bukan sekadar ledakan sosial. Ia adalah manifestasi dari luka yang telah lama membusuk di tubuh republik.
Ketimpangan ekonomi yang kian parah, pengangguran yang membengkak, harga kebutuhan pokok yang melambung, dan retaknya kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Dalam kerangka teologi politik Carl Schmitt, negara yang seharusnya menjadi penjamin ketertiban justru tampil sebagai entitas yang memonopoli kekuasaan tanpa legitimasi moral.
Ketika negara gagal menjadi pelindung, ia berubah menjadi ancaman. Ketika hukum kehilangan keadilan, ia menjadi alat represi. Kerusuhan ini bukan sekadar reaksi spontan.
Ia adalah pemberontakan massa yang telah kehilangan orientasi, sebagaimana dipotret oleh Ortega y Gasset dalam The Revolt of the Masses (1929).
Individu-individu yang merasa tak lagi memiliki tempat dalam tatanan sosial, berkumpul dalam gerombolan yang bergerak tanpa arah, namun penuh dendam.
Gasset dalam buku ini melihat munculnya fenomena “manusia massa”—yakni individu yang pasif, puas diri, dan tidak memiliki aspirasi intelektual atau spiritual yang tinggi.
Dalam pandangannya bahwa ketika massa mulai mendominasi ruang publik dan politik, kualitas peradaban bisa merosot karena hilangnya kepemimpinan berbasis nilai dan kompetensi.
Tapi, buku ini juga sangat relevan untuk memahami dinamika populisme, krisis otoritas, dan pergeseran budaya dalam masyarakat modern.
Mereka, „manusia massa“ bukan sekadar demonstran, mereka adalah simbol dari kehampaan politik, dari janji-janji yang tak pernah ditepati, dari sistem yang tak memberi ruang bagi harapan.
Eric Hoffer (1902-1983) dalam The True Believer: Thoughts on the Nature of Mass Movements(1951), menyebut bahwa gerakan massa lahir dari rasa frustrasi yang mendalam.
Ketika hidup tak lagi memiliki makna, ketika masa depan tampak gelap, maka ideologi ekstrem menjadi pelarian.
Dalam konteks ini, kemarahan terhadap negara bukan sekadar soal kebijakan, tapi soal eksistensi. Negara yang gagal memberi makna adalah negara yang kehilangan rakyatnya.
Namun, di tengah kobaran api dan suara peluru, ada satu suara yang tetap relevan: suara pembangkangan sipil (Civil Disobedience).
David Thoreau mengajarkan bahwa ketika hukum bertentangan dengan nurani, maka kewajiban moral adalah menolak tunduk.
Penolakannya membayar pajak sebagai bentuk protes terhadap perbudakan dan Perang Meksiko-Amerika (1846–1848), yang menurutnya bertentangan dengan hati nurani dan prinsip moral.
Ia menekankan bahwa individu memiliki kewajiban moral untuk menolak tunduk pada pemerintah jika kebijakan negara bertentangan dengan keadilan dan nurani.
Aksi massa yang meluas bukan sekadar bentuk kekacauan, tapi juga ekspresi dari nurani kolektif yang menolak untuk dibungkam.
Mereka tidak hanya menuntut perubahan, mereka menuntut pengakuan atas martabat.
Albert Camus dalam The Rebel (1951) menulis bahwa pemberontakan adalah tindakan manusia yang mengatakan “tidak” terhadap absurditas.
Dalam The Rebel pula, ada ungkapan khas Camus yang sangat eksistensialis:
“I rebel – therefore we exist.”
Kalimat pendek ini, justru menjadi inti dari filsafat pemberontakannya: bahwa tindakan memberontak bukan sekadar penolakan, melainkan afirmasi terhadap keberadaan dan martabat manusia.
Ia mengkritik revolusi yang berubah menjadi tirani, dan menolak ideologi yang mengorbankan manusia demi utopia.
Dalam tragedi Affan dan sepuluh korban lainnya, kita melihat absurditas kekuasaan yang tak lagi manusiawi.
Pemberontakan yang terjadi adalah seruan untuk mengembalikan kemanusiaan dalam politik, untuk menolak kekuasaan yang tak berpihak pada kehidupan.
Kini, saat abu kerusuhan masih menggantung di langit kota, saat keluarga korban masih menatap jenazah dengan mata yang tak lagi menangis, bangsa ini dihadapkan pada satu pilihan: tobat atau tenggelam.
Tobat bukan sekadar ritual, tapi kesadaran kolektif bahwa negara harus kembali pada rakyatnya. Bahwa hukum harus kembali pada keadilan. Bahwa politik harus kembali pada nurani.
Tobat nasional adalah panggilan untuk membongkar ulang fondasi negara.
Untuk membangun teologi publik yang berpihak pada kehidupan, bukan pada kekuasaan. Untuk menciptakan masyarakat sipil yang tak hanya menjadi objek kebijakan, tapi subjek sejarah.
Tobat nasional bukan akhir dari kerusuhan, tapi awal dari kesadaran.
Kesadaran bahwa republik ini hanya bisa diselamatkan jika ia kembali menjadi rumah bagi semua, bukan benteng bagi segelintir.
Dan di tengah reruntuhan, nama Affan Kurniawan akan terus bergema.
Bukan sebagai korban, tapi sebagai pengingat bahwa negara yang membunuh anak mudanya adalah negara yang harus bertobat. (*)
*) Merespons seruan yang diajukan Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo di laman video Kompas.
#coverlagu: Keagungan Tuhan by Titiek Sandhora(71). Lagu “Keagungan Tuhan” yang dilantunkan oleh Titiek Sandhora adalah salah satu tembang religi klasik Indonesia yang terus dikenang lintas generasi.
Lagu ini diciptakan oleh Malik Bz (Abdul Malik Buzaid), seorang komposer legendaris yang aktif sejak era Orkes Melayu Sinar Kemala. Ia menciptakan lagu ini pada tahun 1964. Tahun rilis versi Titiek Sandhora: Versi secara resmi oleh Purnama Records pada tahun 2018