Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)
Tabik Pun!
HATIPENA.COM – Di kaki Bukit Pesagi, kampung Gedung Batu terhampar di antara pematang sawah dan aliran sungai Way Cempo. Warga kampung, khususnya kaum perempuan, memandang momen “masak bersama” menjelang acara adat sebagai saat sakral, lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan perut. Mereka menyebutnya “Besenggak ni Kebai”, yang berarti “masak bersama untuk perayaan”.
Pagi itu, menjelang upacara pernikahan anak kedua ketua adat, suasana di Pekat Keda, dapur umum istimewa, sudah penuh aktivitas. Aroma daun salam, bawang merah, cabe rawit, dan cabai merah besar menyatu. Tungku-tungku besar dipersiapkan. Aparat adat, dipimpin Nai Juma, perempuan tua yang diwariskan ilmu memasak wanita pendahulu, mengambil peran memimpin doa dan pemilihan bahan.
Pada saat seperti ini, semua generasi, dari gadis remaja hingga jompo beruban, bercampur dalam satu ruang. Ada yang menguliti bawang, mengupas kelapa, mencincang kunyit, menyiapkan ikan sungai, dan membuat kue tradisional seperti kue lapis, bugis, serta tempoyak.
Setiap gerak dan ucap selalu sebelum dilakukan: tangan ke dada, lalu ke tungku, sambil menyebut niat, seperti:
“Niat lilur, niat bebai, niat puun. Ngen tapik semenggak.” Artinya: Niat tulus dari hati, niat baik bersama, niat dari asal adat, agar masakan penuh keberkahan.
Suasana penuh kekhidmatan ini menciptakan energi kolektif yang menurut kepercayaan mereka dapat menyatukan rasa, yang tidak sekadar menyerupai tulang, daging, dan bumbu, tetapi jiwa makanan itu sendiri.
Dalam kisah rakyat Gedung Batu, sosok utama adalah Mak Luluk, perempuan tua sakti yang berperan sebagai penjaga rasa dan pemimpin ritual masak. Zaman dulu, ketika rajawali langit turun membawa malapetaka di kampung, Mak Luluk turun tangan menenangkan alam dengan nasi kuning, bubur kacang ijo, dan ikan asin yang dimasak bersama-sama oleh seluruh warga.
Saat upacara adat pernikahan itu akan diselenggarakan tahun itu juga, terjadi masalah besar: semua hal halilintar, bumbu khas seperti kunyit, bawang putih, daun pisang, dan serai, menghilang secara misterius dari lumbung. Panik pun berlangsung, karena tanpa bumbu, makanan dianggap “kehilangan jiwa”, tidak afdhal untuk upacara.
Mak Luluk lalu mengusulkan ritual “besenggak bersama tanpa bumbu”, di mana semua orang memasak dengan niat tulus. Selain itu, ia memadamkan semua lampu di dapur, lalu menyalakan obor. Dalam keadaan separa gelap, warga memasak hanya dengan tangan, meraba bahan, dan diiringi doa adat. Saat malam semakin larut, tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari lumbung, sesosok burung murai masuk membawa serai dan bawang merah di paruhnya, lalu melayang pergi.
Keesokan harinya, bahan-bahan itu ada kembali di dapur, dan masakan mampu diselesaikan tepat waktu. Mak Luluk menjelaskan bahwa roh leluhur dan makhluk alam membantu ketika manusia bersatu, tulus, dan menghormati segala yang terlihat dan ghaib. Sejak itu, ritual memasak bersama sebelum acara adat bukan sekadar acara, tapi pembuktian spiritual bahwa rasa lahir dari hati dan kekompakan.
Tradisi ini menyatukan seluruh lapisan masyarakat: dari anak muda hingga lansia, laki-laki membantu memikul bahan, dan perempuan mendominasi proses memasak. Harmoni kerja bersama menunjukkan nilai gotong royong yang sangat tinggi, inti dari budaya Lampung pepadun.
Dalam fiksi, ketika Mak Luluk menginstruksikan semua bergotong royong di tengah gelap, itu menegaskan bahwa tanpa kerjasama dan niat tulus, ritual tidak akan berhasil. Nilai ini sangat relevan dalam menjaga keharmonisan sosial di era modern.
Setiap langkah ritual, menyentuh bumbu, menyalakan tungku, membaca niat, mengandung makna spiritual. Mereka bukan ritual semu, tetapi praktik spiritual yang menyentuh hati. Fiksi Mak Luluk memperlihatkan bahwa justru di saat bahan pun hilang, niat bersama mampu menggerakkan alam untuk membantu.
Dalam tradisi adat Lampung pepadun, orang percaya bahwa dunia fisik dan gaib bersinggungan, oleh karena itu doa dan niat bersama memberi efek nyata. Ini mencerminkan pandangan bahwa spiritualitas bukan hanya untuk tempat ritual suci, tapi dapat hadir di dapur, ladang, atau pinggir sungai.
Tradisi memasak bersama adalah medium transfer budaya: resep turun-temurun, bahasa Lampung digunakan, dan doa-doa adat diulang pelan oleh generasi muda.
Dalam fiksi ketika Mak Luluk memimpin, puluhan gadis muda mendengarkan dan mencatat kata demi kata. Ini menjadi cara untuk menjaga identitas budaya agar tak luntur oleh modernisasi atau urbanisasi. Nilai ini sangat penting, dengan adanya fiksi ini, pembaca bisa lebih memahami bahwa ritual memasak bukan hanya teknik, tetapi simbol kehendak mempertahankan kearifan lokal.
Simbolisme Bahan dan Makna Filosofis
• Kunyit melambangkan kesucian dan pemurnian, prosesi menanak dalam gelap punlah simbol pembersihan spiritual.
• Cabe merah adalah simbol keberanian: masyarakat Lampung mengajarkan untuk tidak takut melawan kesulitan jika dilakukan bersama.
• Daun salam melambangkan perlindungan, baik dari gangguan roh maupun masalah dalam acara adat.
• Kelapa parut memberi makna “satu dari banyak”: ketika diparut, ia masih menyatu, seperti masyarakat yang bersatu meski berasal dari banyak keluarga.
Fiksi ini menggunakan bahan-bahan tersebut sebagai titik fokus dari doa dan tindakan: misalnya, Mak Luluk meminta seluruh perempuan menyentuh kelapa parut dan mengucap niat bersama. Ini bukan ritual kosong, tapi menyimbolkan bahwa pikiran, hati, dan tangan mereka harus menyatu untuk menciptakan rasa yang sempurna.
Mak Luluk pernah berkata: “Jika kau masak tanpa menghormat asalnya, maka roh leluhur tidak akan hadir.” Dalam cerita, roh leluhur menyamar menjadi murai untuk mengembalikan bahan makanan. Ini menunjukkan ajaran bahwa leluhur tetap hadir dalam tiap senyum, aroma, dan rasa.
Ritual memasak ini adalah saluran untuk meminta berkah dan menjaga hubungan harmonis. Dalam budaya Lampung, pepadun merujuk pada hubungan tiga lingkaran: manusia, alam, dan leluhur. Keduanya harus senantiasa dijaga.
Meskipun perempuan lebih banyak di dapur, lelaki tidak sepenuhnya pasif: mereka membawa bahan dan kayu, mengangkat tungku, serta membantu proses berat. Fiksi menciptakan keseimbangan peran: perempuan sebagai penjaga rasa, laki-laki sebagai pendukung. Ini mencerminkan struktur sosial Lampung yang egaliter—bahkan dalam tradisi modern, pembagian peran tetap dihormati, tanpa merendahkan satu pihak.
Cerita tentang bumbu yang hilang adalah metafora modern: disrupsi budaya akibat globalisasi dan urbanisasi dapat melunturkan rasa dan ritual. Namun, ketika masyarakat kembali ke akar, menghormati niat, dan bekerja sama, budaya akan tangguh. Tradisi memasak bersama memiliki fungsi sosial sekaligus strategis: mengedukasi generasi muda, membangun kepercayaan komunitas, dan menjaga identitas ketika dunia terus berubah.
Dengan bebas cerita rakyat, drama spiritual, dan analisis adat di atas, tradisi memasak bersama menjelang acara adat Lampung terbukti bukan sekadar ritual makanan. Ini adalah media pembelajaran, identitas, solidaritas, penghormatan roh leluhur, dan pesan moral bagi masyarakat modern.
Setiap langkah, dari menyantap bumbu, menyalakan tungku gelap, menyentuh daun salam, membacakan mantra niat, membentuk sistem nilai holistik: manusia harus bersatu, menghargai alam, menjaga leluhur, dan membentuk masa depan. Inilah esensi tradisi adat Lampung, yang meski sederhana, menyimpan kekayaan budaya yang dalam dan relevan. (*)
Daftar Pustaka
- Ridwan, H. (2008). Adat Pepadun: Filosofi dan Struktur Sosial Masyarakat Lampung. Bandar Lampung: Pustaka Nusantara.
- Siregar, E. (2012). Spiritualitas Lokal: Ritual dan Kepemimpinan Adat di Sumatera. Jakarta: Rajawali Pers.
- Mardani, A. (2015). Jejak Kearifan Ekologis dalam Adat Lampung. Bandar Lampung: Kampus Lampung Press.
- Nurhayati, D. (2017). “Sayang Alam, Sayang Leluhur: Perspektif Adat Pepadun.” Jurnal Antropologi Indonesia, 15(2), 45–68.
- Sumanto, R. (2019). Upacara, Simbol dan Makna dalam Budaya Lampung. Yogyakarta: Andi Offset.
- Zulla, M. (2020). Mantra dan Ritus: Tafsir Spiritual Masyarakat Tradisional. Surabaya: Pustaka Rohani.
- Kartika, L. (2021). Ketahanan Pangan Lokal: Integrasi Adat dan Teknologi. Jakarta: UGM Press.