Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Tradisi Menyambut Idul Adha di Masyarakat Adat Lampung

June 5, 2025 09:20
IMG-20250605-WA0020

Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)


Tabik Pun!

HATIPENA.COM – Di sebuah desa kecil di kaki Bukit Barisan, Desa Sukamurni, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Andi, berusia 12 tahun. Ia sangat antusias menyambut datangnya hari raya Idul Adha. Bagi Andi dan masyarakat adat Lampung Pepadun di desa itu, Idul Adha bukan hanya sekadar hari raya keagamaan, tapi juga momen sakral yang memperkuat adat, tradisi, dan ikatan sosial masyarakat.
“Baba, kapan kita akan mulai ngukui?” tanya Andi suatu pagi kepada ayahnya, Pak Danu, seorang tokoh adat yang disegani di desa.
“Besok, Nak. Hari ini kita akan mulai menyiapkan ngelappah dan mengundang saudara-saudara dari kampung sebelah,” jawab ayahnya sambil membersihkan balai adat.

Persiapan Tradisi: Ngelappah dan Gotong Royong
Di Desa Sukamurni, masyarakat selalu memulai perayaan Idul Adha dengan kegiatan ngelappah, gotong royong membersihkan area sekitar balai adat dan masjid. Semua warga, tua dan muda, ikut serta. Para ibu memasak makanan khas seperti seruit, gulai kambing khas Lampung, dan nasi kebuli untuk jamuan adat setelah pemotongan hewan kurban.
Andi ikut dengan penuh semangat. Ia membantu membawa daun pisang dan menyapu halaman. “Ini bukan hanya untuk bersih-bersih,” kata neneknya, Mak Bani. “Ini bagian dari bejuluk adok, menjaga nama baik keluarga dalam adat. Kalau rumah bersih dan siap menerima tamu, tandanya kita menghormati hari besar ini.”
Malam Takbiran: Mewarnai dengan Nuansa Adat
Malam takbiran di desa mereka tidak hanya berisi takbir keliling, tetapi juga diiringi pencak silat Lampung, tari bedana, dan pembacaan petuah-petuah adat dari tokoh tua. Anak-anak memakai pakaian adat, sedangkan para pemuda memainkan gamelan Lampung dan gendang yang ditabuh meriah namun khidmat.
Pak Danu berdiri di tengah lingkaran dan menyampaikan pesan adat:
“Idul Adha bukan hanya tentang berkurban. Tapi juga tentang ngedum, berbagi rezeki, menghormati tamu, menjaga silaturahmi, dan menjunjung tinggi kehormatan leluhur. Maka dari itu, mari kita niatkan semuanya dengan ikhlas.”
Andi mendengarkan dengan kagum. Malam itu, ia merasa bangga menjadi bagian dari masyarakat adat yang memadukan nilai agama dan budaya dalam harmoni.

Hari Raya: Kurban dan Pembagian dengan Kearifan Lokal
Keesokan harinya, setelah salat Idul Adha, warga berkumpul di balai adat. Hewan-hewan kurban telah disiapkan—kerbau dan kambing, sebagian milik warga, sebagian bantuan dari perantau yang pulang kampung.
Prosesi penyembelihan dilakukan dengan tata cara adat. Tokoh adat terlebih dahulu memimpin doa, dilanjutkan dengan pembacaan niat dari para pemberi kurban. Dagingnya dibagi dengan sistem nampah, mengantarkan bagian daging ke rumah-rumah dengan pengantar pantun adat:
“Nampah daging Idul Adha,
Dari keluarga Pak Danu sekeluarga,
Semoga berkah dan bahagia,
Untuk saudara semua di rumah.”
Andi mendapat tugas mengantar daging bersama teman-temannya. Ia belajar bahwa menyampaikan daging bukan hanya tentang memberi, tetapi juga menjaga sopan santun dan adat yang diwariskan turun-temurun.

Penutupan: Ruwahan dan Doa Bersama
Sore hari, warga kembali ke balai adat untuk acara ruwahan—doa bersama untuk para leluhur dan syukuran atas berkah Idul Adha. Setiap keluarga membawa makanan dalam tampah bambu, lalu makan bersama dalam suasana penuh kekeluargaan.
Andi duduk di samping ayahnya. “Baba,” katanya lirih, “tahun depan aku juga ingin berkurban, dari uangku sendiri.”
Pak Danu tersenyum dan menepuk bahunya. “Itu bagus, Nak. Karena yang terpenting bukan besar kecilnya kurbanmu, tapi bagaimana kamu menjalankan adok keluarga kita: jujur, rendah hati, dan berguna bagi sesama.”

Cerita ini menggambarkan bagaimana Idul Adha bukan hanya ritual keagamaan, melainkan juga momentum budaya yang mempererat solidaritas masyarakat adat Lampung. Dalam kehidupan sehari-hari, nilai-nilai adat seperti gotong royong, penghormatan kepada leluhur, dan semangat berbagi menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan yang penuh makna ini. (*)