Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Tinggalkan sebentar kisah rakyat Pati melawan Bupatinya. Sekarang kita halan-halan ke luar negeri. Kebetulan sudah lama emang tak ngopi di sana. Esok (15/7/2025), dunia akan mencatat sejarah besar. Dua tokoh dunia, yang bisa menciptakan perang, juga perdamaian, Donald Trump akan bertemu Vladimir Putin. Seluruh dunia akan menunggu momen ini. Sebagai pengopi tanpa gula, juga tidak sabar menunggu pertemuan si rambut jagung dengan si tsar modern ini.
Lokasi pertemuan, bukan di kafe hipster, bukan hotel bintang lima, tapi Joint Base Elmendorf–Richardson. Sebuah markas militer yang, untuk satu hari, berubah menjadi ruang rapat paling tegang di planet ini.
Pertemuan ini katanya untuk membicarakan damai di Ukraina. Damai itu indah, itu sih yang amplop kuning. Ini damai, kata yang di politik sering berarti “ayo kita berhenti berkelahi sebentar supaya kita bisa berkelahi lagi nanti dengan lebih segar.” Trump bilang, dia bisa tahu dalam beberapa menit apakah Putin serius atau cuma datang untuk minum kopi gratis. Sebagian orang berharap, sebagian lagi was-was, sisanya sudah menyiapkan meme.
Di Kyiv, Zelenskyy sudah memegang naskahnya sendiri. Tidak ada damai kalau harus menyerahkan Donbas. Bagi dia, itu seperti berdamai dengan maling yang sudah makan separuh ayam geprek kita, lalu bilang, “oke, kita damai, tapi potongan ini saya bawa pulang.” Zelenskyy menegaskan, tiap inci tanah Ukraina punya cerita, punya kuburan pahlawan, dan tidak ada yang bisa membelinya. Bahkan, dengan janji manis dari dua orang yang bertemu di Alaska.
Sementara dunia menunggu, Rusia tiba-tiba melempar kabar. Pasukan Putin mengklaim telah menguasai 110 kilometer persegi wilayah Ukraina dalam sehari. Ini kemajuan terbesar mereka dalam lebih dari setahun. 110 km²! Itu cukup untuk membuat lapangan sepak bola jumlahnya setara seluruh Liga Eropa, atau cukup luas untuk menanam kentang yang bisa memberi makan satu kota. Klaim ini disampaikan seperti pengumuman pemenang lotre. Padahal di lapangan, tidak ada pesta, hanya puing, debu, dan orang-orang yang bertanya-tanya kapan semua ini selesai.
Besok, di Alaska, dunia akan menonton seperti final liga tinju kelas berat, tapi dengan jas mahal dan kopi panas. Para diplomat akan berjalan mondar-mandir seperti pelayan restoran mahal yang pura-pura tahu apa yang diinginkan tamunya. Trump mungkin akan mencondongkan badan, memberi tatapan “saya bos besar.” Sementara Putin akan menatap balik seperti guru matematika yang tahu kita tidak mengerjakan PR.
Filsafat perang pernah berkata, “Perang adalah ketika politisi bicara dan rakyat yang mati.” Besok, kita akan melihat politisi bicara lagi, dengan harapan, sekecil apa pun, bahwa kali ini, rakyat tidak mati sia-sia. Alaska, yang dulunya milik Rusia sebelum dijual ke AS, menjadi simbol ironis. Tanah yang dulu berpindah tangan dengan damai, kini jadi tempat membicarakan tanah yang diperebutkan dengan darah.
Jadi malam ini, dunia memegang napasnya. Bukan karena udara Alaska yang dingin, tapi karena besok, di ruangan berpendingin udara militer, dua pria ini akan memutuskan apakah kita akan menuju damai atau menuju babak perang berikutnya. Kita, para penonton, cuma bisa berharap berita besok bukan tentang siapa yang menang berdebat, tapi tentang siapa yang berhenti menembak.
Pada akhirnya, perang tidak pernah benar-benar dimenangkan. Yang ada hanyalah siapa yang paling sedikit kalah. Semua peta, semua garis batas, dan semua negosiasi hanyalah dekorasi di atas luka yang tetap menganga. Damai yang sejati bukan datang dari pena yang menandatangani kesepakatan di ruangan berpendingin udara, tapi dari hati yang memilih berhenti melukai. Sebab harga satu nyawa manusia, entah dia tentara, petani, atau anak kecil yang baru belajar menulis, jauh lebih mahal dari seribu kilometer persegi tanah di peta dunia. (*)
#camanewak