Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
HATIPENA.COM – Rakyat Amerika telah memilihnya. Kita bisa apa. Walau gemes, ingin mencubit pipinya, Trump telah resmi jadi presiden dan siap kembali menggetarkan dunia. Sambil menikmati kopi di meja dapur, yok kita bahas si rambut emas, mulut tak punya rem.
Langit Washington kelabu. Udara dingin menggigit. Tapi itu tak mampu memadamkan bara ambisi seorang Donald Trump. Pria 78 tahun itu melangkah ke Rotunda Capitol dengan gaya khasnya, setelan jas terlalu besar, dasi terlalu panjang, dan senyum yang bisa membuat patung Liberty geleng-geleng kepala. Dia berdiri, mengangkat tangan, dan berkata dengan suara menggema, “Zaman keemasan Amerika dimulai sekarang.”
Zaman keemasan? Sebuah deklarasi yang menggelegar, walau lebih terdengar seperti pembukaan konser rock ketimbang pidato pelantikan. Orang-orang bersorak, beberapa mungkin menangis, dan sisanya diam sambil bertanya dalam hati, “Apakah ini sungguhan?”
Di usia senja, Trump kembali menjadi presiden, mencetak sejarah sebagai terpidana pertama yang memimpin Amerika. Grover Cleveland, satu-satunya presiden dengan masa jabatan tidak berurutan sebelumnya, kini resmi memiliki pesaing. Bedanya, Cleveland tak pernah menghadapi dakwaan terkait bintang porno atau kerusuhan massal. Trump? Dia memecahkan rekor demi rekor, ibarat seorang atlet kontroversi yang tak kenal lelah.
Pelantikan yang biasanya digelar megah di tangga Capitol kini pindah ke dalam ruangan. Alasan resminya? Cuaca dingin. Alasan sebenarnya? Siapa yang tahu. Tapi satu hal pasti, tempat ini penuh dengan sejarah. Tempat ini pernah jadi panggung kerusuhan, tempat orang-orang melemparkan kursi dan keyakinan. Sekarang, tempat ini jadi saksi seorang pria yang kembali dari keterpurukan. Epik? Mungkin. Ironis? Pasti.
Di deretan kursi, miliarder dunia duduk manis. Musk, Bezos, Zuckerberg, mereka menyaksikan dengan mata berbinar, mungkin karena kalkulator dalam otak mereka sudah menghitung potensi keuntungan. Di sisi lain, mantan Presiden Biden dan Harris hadir dengan wajah seperti sedang menelan pil pahit tanpa air. Mereka duduk diam, menatap Trump seperti tokoh dalam tragedi Shakespeare yang baru saja menyadari, “Ah, ini plot twistnya.”
Trump berjanji dengan semangat membara, deportasi besar-besaran, tarif tinggi, pengampunan massal bagi para patriot kerusuhan Capitol. Kata-katanya seperti mantra, penuh dengan janji yang menggetarkan hati, atau menggetarkan dasar-dasar demokrasi, tergantung perspektif.
Dia berseru, “Besok invasi berhenti!” Sementara di perbatasan, udara mungkin berhenti sejenak, bingung bagaimana caranya invasi bisa dihentikan hanya dalam semalam.
Donald Trump telah kembali. Dunia menyaksikan. Amerika berdiri di ambang perubahan, atau kekacauan, atau mungkin keduanya. Seperti sebuah film blockbuster yang alurnya terlalu sulit ditebak, Amerika kini memasuki babak baru dalam dramanya. Trump adalah sutradara, aktor utama, dan penulis naskahnya. Untuk kali ini, semua orang hanya bisa menunggu, bertanya-tanya kapan kejutan berikutnya akan datang.
Di balik semua janji, ancaman, dan drama, satu hal tak terbantahkan, Trump tetap Trump. (*)
#camanewak