Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Tuak dan Mabuk Sampah Sosial

March 5, 2025 08:58
IMG-20250305-WA0005

Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Di sebuah dunia yang makin terhubung, di mana informasi mengalir deras tanpa sekat, seringkali kita justru terjebak dalam paradoks yang memilukan.

Fitnah dan kebohongan, yang sejatinya sampah sosial, kini justru menjadi strategi komunikasi yang ampuh. Lebih ironis lagi, makin sering diulang, makin dipercaya.

Media sosial sejatinya bukanlah media dalam makna undang-undang, tetapi dalam praktiknya lebih berkuasa daripada televisi, radio, atau koran.

Di media konvensional, ada aturan, ada batasan, ada tanggung jawab. Sebuah berita bohong bisa berujung tuntutan hukum. Namun, di dunia maya, kebohongan berseliweran tanpa kendali.

Siapa pun bisa menjadi sumber berita, meski tak memiliki kredibilitas. Siapa pun bisa menyebar fitnah, meski tak memiliki bukti. Dan yang lebih mengkhawatirkan, siapa pun bisa percaya, tanpa sedikit pun ada kehendak untuk mencari tahu apakah itu kebenaran atau bukan.

Dulu, ada adagium “berita harus berbasis fakta.” Kini, fakta tak lagi penting. Yang lebih utama adalah apakah informasi itu menyenangkan hati, apakah ia selaras dengan keyakinan pribadi, apakah ia meneguhkan kebencian terhadap sesuatu atau seseorang.

Tak peduli benar atau salah, asal selaras dengan apa yang ingin kita dengar, kita anggap itu kebenaran, langsung klik, tak ada yang mengomandoi langsung forward. Padahal menelanjangi diri sendiri karena itulah kita.

Dalam grup WhatsApp, dalam kolom komentar media sosial, dalam video pendek yang beredar di TikTok atau YouTube, kita melihat wajah paradoks ini.

Celakanya mereka yang merasa beragama, yang telah mengambil “sesana” untuk tak menjadi orang biasa, yang mengaku berpendidikan tinggi, ikut larut dalam mabuk informasi model ini.

Mereka menekan tombol forward tanpa berpikir, membagikan kebohongan tanpa menimbang, menyebarkan fitnah tanpa merasa bersalah.

Seakan-akan dosa tak berlaku dalam dunia maya, seakan-akan menyebarkan kebohongan bukanlah kejahatan jika dilakukan dengan satu sentuhan ibu jari.

Lebih menyedihkan, hubungan persahabatan hancur hanya karena sampah sosial ini. Orang-orang banyak bertengkar karena kabar yang tak jelas sumbernya, terpecah karena berita yang tak terverifikasi.

Di pos ronda, orang mabuk karena minum tuak, tetapi di grup WhatsApp, orang mabuk oleh kebohongan. Dan mabuk kebohongan jauh lebih berbahaya. Ia merusak akal sehat, mengikis empati, dan membunuh nalar.

Paradoks ini nyata. Di era yang mestinya penuh keterbukaan dan akses informasi, justru kebodohan makin merajalela.

Di zaman ketika ilmu bisa diakses dengan satu klik, justru kita memilih tenggelam dalam kebohongan yang kita sukai.

Dan pada akhirnya, kita tak lagi mencari kebenaran, tetapi hanya mencari apa yang ingin kita percayai.

Apakah kita masih bisa keluar dari mabuk ini? Atau kita justru menikmati tenggelam dalam arus deras kebohongan yang kita ciptakan sendiri?(*)

Denpasar, 5 Maret 2025