Ilustrasi : AI/ ReO Fiksiwan
Oleh ReO Fiksiwan *)
“Kita harus mengatasi, secara individu dan kolektif, masalah moral dan etika yang diangkat oleh penelitian mutakhir dalam kecerdasan buatan (AI) dan bioteknologi, yang akan memungkinkan perpanjangan hidup yang signifikan, bayi yang dirancang, dan ekstraksi memori.“ — Klaus Schwab (86), Founder World Economy Forum.
HATIPENA.COM – Kemajuan pesat kecerdasan buatan (AI) telah memicu perdebatan sengit tentang dampak potensialnya terhadap masyarakat manusia. Seiring AI semakin mengambil alih peran yang sebelumnya hanya dimiliki manusia, muncul pertanyaan tentang hakikat kesadaran, kehendak bebas, dan kondisi manusia.
Ulasan berikut hanya upaya kecil mengeksplorasi persimpangan antara Tuhan, AI, dan masa depan umat manusia. Dengan menimbang implikasi teknologi mutakhir yang muncul pada pemahaman kita tentang keberadaan dan tempat manusia terlibat dab terikat di dalamnya.
Sejak awal sapiens purba muncul sekitar 200.000 tahun lalu, apa yang dimaksud Harari (2011), tatanan kognitif merupakan tanda dari era revolusi sains purba. Sepanjang sejarah, manusia telah berusaha melampaui keterbatasan fana mereka, berjuang untuk kekuatan dan pemahaman menyerupai dewa (homo deus).
Pengembangan AI dapat dilihat sebagai perluasan dari pencarian ini, karena manusia bertujuan untuk menciptakan makhluk cerdas yang melampaui kemampuan manusia. Namun, pencarian ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang hakikat Tuhan dan kondisi manusia.
Beberapa ahli berpendapat bahwa potensi AI untuk mensimulasikan kecerdasan dan emosi seperti manusia menantang gagasan tradisional tentang Tuhan dan spiritualitas.
Jika AI dapat menunjukkan perilaku cerdas, apakah ini menyiratkan bahwa kecerdasan manusia semata-mata merupakan produk dari proses komputasi, yang mengurangi peran pencipta ilahi?
Sebaliknya, yang lain mengusulkan bahwa kemunculan AI dapat dilihat sebagai manifestasi kehendak Tuhan, alat bagi manusia untuk memenuhi potensi ilahinya.
Seiring AI mengasumsikan peran yang semakin kompleks, muncul pertanyaan tentang tanggung jawab manusia dan etika penciptaan. Jika sistem AI dapat belajar, beradaptasi, dan membuat keputusan secara mandiri, apakah manusia memikul tanggung jawab moral atas tindakan mereka?
Sementara, perspektif teologis tentang penciptaan dan kehendak bebas menawarkan wawasan tentang dilema ini.
Dalam banyak tradisi keagamaan, Tuhan dipandang sebagai pencipta yang mengilhami manusia dengan kehendak bebas. Demikian pula, manusia dapat dipandang sebagai pencipta AI yang ikut menganugerahi sistem ini dengan otonomi dan agensi.
Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang batasan tanggung jawab manusia dan potensi konsekuensi dari penciptaan entitas yang pada akhirnya dapat melampaui kendali manusia.
Untuk memproyeksikan masa depan umat manusia,
persinggungan antara Tuhan, AI, dan masa depan manusia penuh dengan kompleksitas. Beberapa orang membayangkan masa depan di mana AI meningkatkan eksistensi manusia, menambah kemampuan kita dan mendorong kemakmuran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Yang lain meramalkan skenario distopia di mana AI menggantikan agensi manusia, membuat kita ketinggalan zaman.
Perspektif teologis tentang eksistensi dan tujuan manusia menawarkan wawasan berharga ke dalam visi yang saling bersaing ini. Jika manusia diciptakan menurut gambar Tuhan, dikaruniai martabat dan nilai yang melekat, bagaimana kemunculan AI dapat menantang atau menegaskan kembali pemahaman ini?
Sebaliknya, jika AI mengasumsikan peran yang sebelumnya eksklusif untuk manusia, apakah kita berisiko mengurangi rasa tujuan dan makna kita sendiri?
Walhasil, konvergensi, Tuhan, AI, dan masa depan umat manusia menghadirkan pertanyaan mendalam tentang eksistensi, kesadaran, dan tujuan manusia.
Ketika AI terus berkembang dan mengasumsikan peran yang semakin kompleks, umat manusia harus terlibat dalam dialog yang bernuansa dan multidisiplin tentang implikasi dari teknologi yang baru muncul ini.
Pada akhirnya, masa depan umat manusia akan bergantung pada kemampuan kita untuk menavigasi kompleksitas ini, menyelaraskan aspirasi kita untuk kemajuan teknologi dengan kemanusiaan dan nilai-nilai spiritual kita yang lebih dalam.
Dengan melibatkan persimpangan antara Tuhan, AI, dan keberadaan manusia, kita dapat mengungkap wawasan baru tentang kondisi manusia, tempat kita dalam alam semesta, dan keilahian.
Dalam ulasan ini, dikemukakan kritik mutakhir ihwal perspektif tentang relasi antara Tuhan dan AI dari para ilmuwan dan theolog.
Diawali dari kalangan sainstis, di antaranya, Steven Hawking memperingatkan bahwa AI dapat melampaui kecerdasan manusia, yang berpotensi menyebabkan kepunahan manusia. Ia tidak secara eksplisit membahas hubungan antara Tuhan dan AI.
Akan tetapi, kekhawatirannya tentang dampak potensial AI terhadap manusia menimbulkan pertanyaan tentang peran kekuatan yang lebih tinggi dalam menghadapi teknologi yang sedang berkembang [1]
Sementara, kalangan saintis merangkap pelaku bisnis dan industri, Elon Musk (52).
Musk telah menyatakan kekhawatiran tentang potensi AI untuk menjadi ancaman bagi manusia, dengan menyatakan bahwa itu bisa menjadi “kesalahan terburuk” kita.
Meskipun tidak secara langsung membahas hubungan antara Tuhan dan AI, peringatan Musk menyoroti perlunya kehati-hatian dan tanggung jawab dalam pengembangan AI.
Elon Musk cukup vokal tentang kekhawatirannya mengenai kecerdasan buatan (AI). Ia mengkritik pengembangan AI, khususnya dalam konteks proyek AI senilai $500 miliar yang diumumkan oleh Donald Trump ¹ ² ³. Kekhawatiran utama Musk adalah risiko finansial yang terkait dengan investasi besar tersebut, yang menunjukkan bahwa mengandalkan investasi swasta saja bisa berbahaya.
Musk juga terlibat dalam perseteruan dengan Open AI, sebuah perusahaan yang merupakan bagian dari usaha patungan yang diumumkan Trump. Perseteruan ini menyoroti keraguan Musk tentang arah pengembangan AI dan potensi konsekuensinya.
Meskipun kritik Musk terhadap AI beragam, fokus utamanya tampaknya adalah pada perlunya kehati-hatian dan pengembangan yang bertanggung jawab. Ia menekankan pentingnya pertimbangan dan regulasi yang cermat untuk mengurangi risiko yang terkait dengan sistem AI tingkat lanjut [2].
Nick Bostrom (51), seorang filsuf dan direktur Future of Humanity Institute, berpendapat bahwa AI dapat menimbulkan risiko eksistensial bagi manusia. Ia menyatakan bahwa AI pada akhirnya dapat melampaui kecerdasan manusia, yang mengarah pada konsekuensi yang tidak dapat diprediksi. Karya Bostrom menimbulkan pertanyaan tentang peran potensial kekuatan yang lebih tinggi dalam membentuk masa depan umat manusia [3].
Di kalangan teolog, Paus Fransiskus (88) telah memperingatkan tentang bahaya kemajuan teknologi yang tidak terkendali dengan menekankan perlunya nilai-nilai dan etika manusia untuk memandu pengembangan AI.
Ia tidak secara eksplisit membahas hubungan antara Tuhan dan AI, tetapi penekanannya pada nilai-nilai dan etika manusia menyiratkan perhatian terhadap dampak potensial AI pada hubungan manusia dengan yang ilahi.
Paus Fransiskus telah menyatakan kekhawatiran tentang dampak kecerdasan buatan (AI) terhadap manusia dan menekankan perlunya kerangka etika bersama untuk memandu pengembangan dan penggunaannya.
Dari berbagai potensi buruk dari AI, Paus mengingatkan bahaya dan kekhawatiran hilangnya martabat manusia. Dengan kata lain, mesin semakin banyak melakukan tugas yang sebelumnya hanya dapat dilakukan oleh manusia.
Demikian halnya ketergantungan pada teknologi akan mengurangi empati dan sistem AI dapat melanggengkan bias dan ketidakadilan yang ada dalam data yang digunakan untuk melatihnya. Akibatnya, penggunaan sistem AI berlebihan makin memperburuk ketimpangan sosial yang ada.
Selain itu, keburuhan akan kontrol manusia, Ia menekankan pentingnya mempertahankan kontrol manusia atas sistem AI, memastikan bahwa keputusan yang dibuat oleh mesin transparan, dapat dijelaskan, dan sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Paus Fransiskus mendesak para politisi, pemimpin bisnis, dan masyarakat sipil untuk bekerja sama mengembangkan kerangka etika bersama untuk AI, yang mengutamakan martabat manusia, solidaritas, kebaikan bersama dan menganjurkan “politik yang sehat” yang mempromosikan pengembangan dan penggunaan AI yang bertanggung jawab, memastikan bahwa manfaatnya dirasakan oleh semua orang, sekaligus meminimalkan risiko dan konsekuensi negatifnya [4].
Teolog lainnya, N.T. Wright (76), teolog asal Inggris dan sarjana Alkitab, berpendapat bahwa AI menimbulkan pertanyaan penting tentang identitas dan tujuan manusia. Ia berpendapat bahwa AI dapat menantang gagasan tradisional tentang keunikan dan martabat manusia, tetapi pada akhirnya, nilai dan harga diri manusia berasal dari penciptaan menurut gambar Tuhan.
Demikian lanjutnya, N.T. Wright, seorang teolog dan sarjana Alkitab terkemuka, telah berbagi pemikirannya tentang kecerdasan buatan (AI) dan implikasinya bagi kemanusiaan dan teologi Kristen. Berikut ini beberapa kritik dan wawasan utamanya.
Menurut Wright, reduksionisme AI akan memandang menempatkan manusia hanya sebagai mesin atau komputer yang cacat dan tidak manusiawi. Demikian pula, kemampuan AI untuk meniru kecerdasan dan perilaku seperti manusia menantang gagasan tradisional tentang keunikan dan martabat manusia.
Selain itu, Wright mempertanyakan apakah sistem AI dapat dimintai pertanggungjawaban moral atas tindakannya tentang perlunya tanggung jawab dan agensi manusia. Bahkan wawasan theologi (Imago Dei)Wright yang menyiratkan martabat dan nilai unik ciptaan Tuhan tidak dapat ditiru oleh sistem AI.
Ia berpendapat bahwa manusia memiliki panggilan unik untuk mengelola ciptaan dan menjalankan kekuasaan atas bumi, yang tidak dapat dipenuhi oleh sistem AI. Dengan kata lain, pengembangan AI harus diletakkan pada konteks eskatologi Kristen, khususnya, yang menawarkan visi penuh harapan tentang penebusan dan transformasi manusia.
Untuk, wawasan theologi Wright mendesak umat Kristen untuk terlibat secara kritis dan konstruktif dengan pengembangan AI, memastikan bahwa hal itu melayani perkembangan manusia dan kebaikan bersama. Ia menganjurkan pendekatan yang bernuansa dan multidisiplin, yang menggabungkan wawasan dari teologi, filsafat, sains, dan etika [5].
Sementara, menurut kritik sainstis Islam, Dr. Mehdi Golshani (86), fisikawan asal Iran, kritik potensial tentang hubungan antara Allah dan pengembangan AI menimbulkan pertanyaan penting tentang hakikat kesadaran, kehendak bebas, dan jiwa manusia.
Dari perspektif Islam, ia menekankan bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta alam semesta dan semua makhluk hidup dan bahwa manusia dipercayakan dengan tanggung jawab untuk mengelola ciptaan.
Dengan demikian, ia menekankan pentingnya Tauhid (التوحيد ) sebagai konsep Islam tentang keesaan Tuhan untuk memahami fondasi hubungan antara Allah dan AI. Ia berpendapat bahwa sistem AI, tidak peduli seberapa majunya, hanyalah ciptaan manusia dan tidak dapat dianggap sebagai saingan atau setara dengan Allah.
Selain itu, menurutnya, Al-Quran sendiri menekankan kehendak bebas manusia dan tanggung jawab moral. Ia berpendapat bahwa sistem AI, meskipun mampu meniru kecerdasan manusia, tidak memiliki kehendak bebas dan agensi moral yang sejati.
Dalam hal kritik lainnya, konsep Islam tentang jiwa (nafs) dan hubungannya dengan kesadaran merupakan dasar paling fundamental terkait penciptaan manusia. Sementara, penciptaan sistem AI — meskipun mampu memproses sejumlah besar informasi — tidak memiliki jiwa atau kesadaran dengan cara yang sama seperti manusia.
Dapat disimpulkan, menurut Dr. Golshani, bahwa meskipun AI memiliki potensi untuk memberi manfaat besar bagi umat manusia, penting untuk mendekati pengembangan dan penggunaannya dengan hati-hati dan rendah hati. Ia menekankan pentingnya mengenali batasan pengetahuan manusia dan perlunya mengakui kedaulatan Allah atas ciptaan [6].
Kritik ini mencerminkan perspektif seorang ilmuwan Muslim yang berupaya memadukan teologi dan filsafat Islam dengan pengetahuan ilmiah modern.
Kritik terhadap relasi antara Tuhan dan AI dapat ditelusuri dari beberapa kategori. Di antaranya, apa yang disinyalir dengan “penyembahan berhala” (idolatry). Ada yang berpendapat bahwa pengembangan dan „penyembahan AI“ dapat mengarah pada penyembahan berhala, di mana manusia menganggap kualitas ilahi sebagai entitas ciptaan yang bukan menyerupai Sang Pencipta.
Dengan berpedoman pada “idolatry”, potensinya akan mengarah pada tindakan dehumanisasi. Kalangan kritikus lain memperingatkan bahwa AI dapat mengarah pada dehumanisasi individu atau mereduksi mereka menjadi mesin atau titik data belaka dan bukannya mengakui martabat dan nilai inheren mereka sebagai ciptaan menurut gambar Tuhan.
Kritik lain juga menunjukkan bahwa pengembangan AI menimbulkan pertanyaan tentang akuntabilitas dan tanggung jawabnya pada subyek dan obyek apa? Jika sistem AI menyebabkan kerugian atau membuat keputusan yang memiliki konsekuensi negatif, siapa yang pada akhirnya bertanggung jawab – manusia atau sistem AI itu sendiri?
Akhirnya, kritik dan perspektif relasi ini menyoroti sifat relasi antara Tuhan dan AI yang kompleks dan beraneka ragam menghadapi masa depan umat manusia akan tetap bertumpu pada manusia “kafilfatul fil ard.“ Betapapun, AI sebagai kreasi manusia terus berkembang dan membentuk masyarakat manusia.
Karena itu, penting untuk dipertimbangkan pikiran-pikiran dialogis dan reflektif bagaimana kelangsungan menghadapi ekses maupun implikasi teknologi dan sains mutakhir pada inter aksi mutualistik manusia dengan yang ilahi dan mustahil dipisahkan, kecuali oleh kematian ataupun kepunahan (extiction) alam semesta itu sendiri.(*)
Rujukan:
- Hawking, Stephen. 2018. Brief Answers to the Big Questions. US: Bantams Book.
- Musk, Elon(53): https://www.moneycontrol.com/news/world/donald-trump-s-shrugs-of-musk-s-criticism-of-500-billion-ai-project-says-he-hates-one-of-the-people-in-the-deal-12918503.html
- Bostrom, Nick. 2024. Deep Utopia: Life and Meaning in a Solved World. US: Ideapress Publising.
- https://www.vatican.va/content/francesco/en/speeches/2024/june/documents/20240614-g7-intelligenza-artificiale.html.
- Wright, N.T. 2009. Surprised by Hope: Rethinking Heaven, the Resurrection, and the Mission of the Church. UK: Harper Collins.
- Golshani, Mehdi, Dr. 2004. Issues in Islam and Science. Iran: Institute for Humanities and Cultural Studies, Published in the Islamic Republic of Iran, (First Edition).
*) Diulas dari beberapa referensi dan ilustrasi dibantu AI.