Bagindo Muhammad Ishak Fahmi
Ciloteh “Catuih Ambuih”
HATIPENA.COM – Nietzsche menyatakan bahwa “Tuhan telah mati,” bukan sebagai seruan kemenangan, tetapi sebagai peringatan bahwa manusia telah kehilangan kompas moral yang dulu menjadi pegangan. Dunia modern yang semakin menjauh dari agama dan nilai-nilai spiritual tidak serta-merta menggantikannya dengan sistem moral baru yang lebih baik. Sebaliknya, kita melihat bagaimana kekosongan ini diisi oleh keserakahan, korupsi, dan kekuasaan yang tak terkendali.
Albert Einstein pernah mengatakan:
“Jika manusia kehilangan rasa hormat kepada Tuhan, maka pada akhirnya ia juga akan kehilangan rasa hormat kepada manusia.”
Apakah ini yang sedang terjadi? Ketika Tuhan mati dalam hati manusia, mereka merasa bebas melakukan apa saja. Kekuasaan tidak lagi diiringi oleh moralitas, tetapi oleh kepentingan pribadi. Hukum bukan lagi alat keadilan, tetapi permainan bagi mereka yang punya kuasa. Aturan yang menghalangi keserakahan? Sederhana saja: ubah aturan itu, buat regulasi baru yang lebih menguntungkan.
Dalam situasi ini, kita melihat kematian bukan hanya dalam gagasan Nietzsche tentang Tuhan, tetapi juga dalam hati nurani manusia. Ketidakadilan merajalela, korupsi menjadi kebiasaan, dan setiap usaha untuk menegakkan moralitas dianggap sebagai penghambat kemajuan. Seolah-olah keberanian untuk berbuat jahat adalah tanda kecerdasan, sementara kejujuran dan etika hanya milik mereka yang “lemah” dan “naif.”
Seorang ulama besar, Buya Hamka, pernah mengingatkan:
“Ketika agama hanya menjadi simbol tanpa makna, maka yang tersisa hanyalah ritual tanpa ruh, hukum tanpa keadilan, dan kekuasaan tanpa tanggung jawab.”
Jika Nietzsche melihat nihilisme sebagai tantangan yang harus diatasi dengan menciptakan nilai baru, maka pertanyaannya adalah: nilai seperti apa yang kita ciptakan hari ini? Jika yang kita bangun adalah sistem yang memuja kekuasaan tanpa batas, harta tanpa kepedulian, dan kebebasan tanpa tanggung jawab, maka kita sedang menuju kehampaan yang lebih dalam.
Mungkin benar, Tuhan telah mati dalam hati banyak orang. Tetapi ironisnya, yang lahir dari kematian itu bukan manusia unggul (Übermensch) yang diimpikan Nietzsche, melainkan para penghamba kepentingan, yang dengan serakah menggerogoti dunia tanpa rasa malu.
Dan pertanyaannya sekarang: apakah kita akan tetap menjadi penonton, atau mulai mencari jalan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai yang telah terkubur?(*)
Padang, 2025.