Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Indonesia pernah digoyang gempa. Tapi gempa sosial-politik karena kasus pagar laut Tangerang? Lebih dahsyat. Pagar sepanjang 30,16 kilometer ini bukan sekadar susunan bambu, ini adalah monumen kebingungan nasional. Hebohnya luar biasa. Dari mantan presiden, menteri, sampai taipan kelas atas diseret. Tak ayal dari pedagang kopi pinggir jalan, CPNS yang ditunda pengangkatannya, ribuan buruh yang kena PHK, koruptor di Sukamiskin, pengacara yang kekayaannya segunung, semua ikut membahas. Di warung kopi, di kantor pemerintahan, di grup WhatsApp keluarga. Lebih heboh dari mulut Donald Trump.
Tersangkanya? Oh, jangan harap nama besar muncul di daftar. Yang kena? Kepala Desa Kohod, Arsin bin Sanip. Seorang pria sederhana, kini bertransformasi menjadi legenda. Dari yang tadinya hanya dikenal di RT sebelah, kini namanya bergema di seluruh negeri. Seolah-olah dari sekian banyak tokoh, hanya satu yang bisa dikorbankan. Benar-benar skenario yang sangat ‘kebetulan’.
Arsin dulu siapa? Anak kampung biasa. Pernah jadi kuli borongan, pernah kerja di bank. Lalu takdir membawanya menjadi kepala desa, dan di situlah segalanya berubah. Awalnya biasa saja, hingga tiba-tiba pagar laut menghantamnya seperti tsunami. Ditersangkakan. Didenda Rp48 miliar. Itu bukan angka kecil. Itu jumlah yang cukup buat beli ratusan rumah subsidi atau menyewa artis K-Pop buat konser pribadi.
Sialnya, di tengah semua ini, perubahan gaya hidupnya malah jadi sorotan. Mobil mewah, pesta besar. Jeep Wrangler Rubicon. Padahal, siapa tahu dia memang penggemar otomotif dan suka berkumpul dengan sahabat lama? Tapi tidak, publik sudah mencapnya. ‘Kades Sultan’. ‘Pejabat Kilat’. Sementara mereka yang lebih berwenang? Senyap. Seperti ninja di malam gelap.
Kasus ini makin epik karena ada 280 sertifikat tanah yang diterbitkan. Hak Guna Bangunan, Hak Milik, semuanya bertebaran. Lalu, tiba-tiba sebagian besar dibatalkan. Proyek tetap berdiri, tapi yang disalahkan tetap Arsin. Kalau ini film, pasti banyak yang teriak, “Plot hole! Tidak masuk akal!”
Tapi inilah kenyataan. Inilah cara kerja sistem. Ada proyek besar, ada keuntungan besar, lalu ada tumbal besar. Semua skenario berjalan mulus. Arsin bin Sanip bukan hanya kepala desa, dia kini adalah simbol. Simbol dari betapa adilnya dunia ini, untuk mereka yang punya kuasa.
Negeri ini memang suka cerita tragis. Tapi yang ini? Bukan sekadar tragis. Ini masterpiece. Seperti semua masterpiece, pasti akan dikenang. Entah sebagai pelajaran, atau sebagai bahan tawa di masa depan.
Bisa dikatakan, Pak Arsin ini menjadi “Tumbal Terbesar Abad Ini” Ia rela dipenjara. Ia ikhlas didenda 48 miliar. Karier hancur. Nama keluarga tercoreng. Semua demi menyelamatkan orang-orang beken di atasnya. Orang-orang yang suka mempermainkan nasib orang kecil. Orang yang suka menari di atas derita rakyat jelata.
Seiring waktu, kasus Pagar Laut ini pun hilang ditelan gelombang. Hilang oleh kasus baru yang datang silih berganti. Megakorupsi Pertamina, gelombang badai PHK, sampai cerita artis bercerai ikut menenggelamkan Pagar Laut. Mau gimana lagi. Arsin sang kepala desa harus menanggung semuanya itu. Hanya bisa bilang, kasihan Pak Arsin. (*)
#camanewak