Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Uyah yang Dilupakan di Meja Makan

January 13, 2025 10:31
IMG_20250113_103024

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

SARAPAN pagi, tiba-tiba ingat garam. Ya, garam, garam Bali. Masyarakat Bali menyebutnya uyah. Tanpa garam, sarapan ini pasti tidak enak. Pasti terasa hambar.

Begitu pentingnya garam dalam keseharian kita, hujan-hujan begini, teringat petani garam Bali. Sudahkah mereka sarapan? Saya sudah mencicipi garam di meja makan, tapi mereka, para petank itu, sudahkah mengecap pakehnya uyah pagi ini?

Pada musim penghujan seperti sekarang, petani garam yang mengandalkan matahari tampaknya sulit bekerja memproduksi garam yang kita nikmati dalam keseharian kita. Air laut tak bisa mengkristal menjadi garam bila hujan terus mengguyur.

Adakah yang peduli? Saya salut dengan kepedulian Gubernur Koster tentang garam Bali, kepedulian ini maknanya jauuuuh, tak hanya peduli kepada petaninya, tapi bagaimana membuat kita semua peduli dengan warisan leluhur kita di Bali.

Jika pada soal garam saja peduli, warisan yang lebih besar pasti tak akan terlewatkan.

Coba kita tengok di beberapa tepi pantai Pulau Dewata, para petani garam tradisional bangun lebih awal, menapaki butiran pasir dengan kaki yang sudah terbiasa dengan kerasnya kehidupan. Siang harinya berjemur hingga kulitnya pekat.

Mereka memikul air laut yang mengalir dari samudra luas, meraciknya dengan tangan mereka sendiri, dan menjadikannya kristal putih yang menyimpan aroma khas Bali.

Dari Desa Kusamba hingga Melaya, tradisi ini diwariskan dari generasi ke generasi, seolah menjadi doa tanpa kata yang menghubungkan mereka dengan alam.

Namun, ironi mencuat seperti matahari yang perlahan menyinari pagi. Garam Bali, yang lahir dari peluh dan cinta, terasing di daerahnya sendiri. Jangan-jangan banyak diantara kita yang tak pernah mengecapnya, atau memang tak peduli?

Di rak-rak toko modern, bukannya garam Bali yang berjejer, tapi garam kemasan asing menumpuk rapi, mengusung merk-merk besar yang entah berasal dari mana.

Garam-garam asing itu merajai pasar, meninggalkan garam tradisional Bali yang terpuruk dalam bayang-bayang ketidakberdayaan.

Banyak warga Bali tidak menyadari, bahkan tidak tahu bahwa tanah mereka adalah penghasil garam berkualitas tinggi.

Garam Kusamba dengan teksturnya yang kasar, Garam Kedonganan yang halus, hingga Garam Perancak yang kaya rasa adalah karya seni alam yang menyimpan kekayaan mineral alami.

Prosesnya begitu sederhana, namun penuh filosofi: air laut yang dijemur di bawah matahari Bali hingga meninggalkan kristal-kristal kecil yang begitu murni.

Tetapi di balik keindahan itu, regulasi menjadi tembok besar yang menghadang. Standar Nasional Indonesia (SNI), izin edar, hingga sertifikasi membuat garam tradisional Bali sulit menembus toko modern.

Kemasan yang dianggap terlalu sederhana, serta variasi kualitas yang dianggap tidak konsisten, semakin menjauhkan garam ini dari masyarakatnya sendiri.

Hikayat garam Bali mungkin tidak pernah tercatat dalam buku-buku besar. Namun, di mata para petani, setiap butir garam adalah bukti keteguhan mereka menjaga tradisi dan juga melawan zaman.

Mereka tahu bahwa garam Bali bukan sekadar bahan makanan—ia adalah identitas, warisan, dan napas dari generasi ke generasi.

Paradoks ini memunculkan pertanyaan besar: Mengapa negeri yang begitu kaya dengan tradisi justru memilih mengabaikan harta karunnya sendiri? Apakah modernitas begitu rakus hingga mengabaikan kearifan lokal yang begitu berharga?

Di tengah bayang-bayang ini, harapan tetap ada. Dengan perjuangan Gubernur Koster dan upaya promosi yang lebih baik, peningkatan kualitas dan kemasan, serta dukungan regulasi yang lebih ramah terhadap produk lokal, garam tradisional Bali bisa kembali bersinar.

Tentu saja jika pemerintah dan masyarakat bersatu, membawa uyah Kusamba, Perancak dan uyah-uyah tradisipnal kita ke meja-meja makan.kita sendiri, ke dapur-dapur warga dan juga restoran-restoran yang ada di seantero Bali mungkin suatu hari nanti garam Bali akan berjaya bukan hanya di toko-toko modern, tetapi juga di hati semua orang.

Garam tradisional Bali bukan sekadar bahan dapur. Ia adalah kisah, keringat, dan keajaiban yang menunggu untuk dihargai kembali.

Di atas pasir-pasir pantai Bali, kita berharap para petani terus bekerja, dengan doa dalam hati, berharap bahwa esok hari akan membawa perubahan yang lebih baik untuk mereka dan untuk dunia kecil bernama garam Bali.

Kita juga berharap para pemimpin-pemimpin kita tidak lelah berjuang dan memperjuangkan hal-hal yang tampaknya sepele namun subtansial karena uyah Bali salah satu anugerah Bhatara Lelangit kita.

Denpasar, 13 Januari 2025

Berita Terkait