HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Walau Dihajar Thailand 7-0, Tetap Cinta Timnas

August 7, 2025 14:32
IMG-20250807-WA0055

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Enaknya hidup di Indonesia itu, ada untungnya. Untung cuma kalah 7-0, coba kalau satu lusin, kan malu. Itulah derita Timnas Sepakbola Putri kita, wak. Kalah telak. Mau gimana lagi, lawan Timnas memang beda kelas. Ikuti narasinya sambil seruput kopi tanpa gula lagi, wak!

Rabu sore, hujan tak turun, tapi air mata netizen Indonesia sukses membanjiri kolom komentar. Timnas Putri Indonesia yang tak latih lagi oleh Coach Mochi, sekarang dilatih Joko Susilo, bukan cuma kalah. Mereka disekolahkan, dibimbing, dimarahi, lalu dimasukkan kembali ke keranjang oleh Timnas Thailand dengan skor yang begitu mendewasakan, 7-0. Tak berbalas sama sekali.

Tujuh. Nol. Bukan kode voucher, bukan hasil undian, tapi hasil nyata dari pertandingan sepak bola yang terasa seperti opera tragedi Yunani… versi Asia Tenggara.

Baru enam menit pertandingan berjalan, bola sudah bersarang di gawang Laita Roati Masykuroh. Bukan karena Thailand bermain seperti Barcelona era Pep, tapi karena Laita Roati memutuskan untuk cosplay jadi sweeper keeper, minus kecepatan, minus keputusan, minus segalanya. Karnjanathat Phomsri tak menyia-nyiakan momen. Sundulan pelan tapi pasti, satu gol untuk Thailand. Untuk Garuda Pertiwi? Satu titik awal menuju keterpurukan eksistensial.

Menit ke-13, bola kembali melayang. Sepakan Casteen seharusnya bisa ditangkap dengan tangan, tapi Laita memilih untuk… menendangnya dengan kaki. Sebuah keputusan yang dalam dunia filsafat disebut sebagai “kebebasan radikal”, menurut Jean-Paul Sartre.

Tak berhenti di situ, penalti menit ke-27 menjadikan skor 3-0. Dan percayalah, itu belum puncak penderitaan. Menit ke-40? Skor jadi 4-0. Satu menit kemudian? 5-0. Gajah Perang seperti lupa bahwa sepak bola adalah permainan dua tim. Mereka malah bermain seperti sedang mengerjakan latihan drill di sesi pemanasan.

Laita Roati lagi-lagi jadi protagonis antagonis. Kali ini, dia keluar dari sarangnya hanya untuk menyambut bola dengan tatapan kosong dan gerakan lambat. Janista Jinantuya pun menari di atas puing harga diri, mencetak gol setengah voli ke gawang yang kosong melompong.

Babak kedua? Sebuah perpanjangan rasa sakit. Gol ke-6 datang dari sundulan manis Klinklai, dan gol ke-7 adalah puncak keajaiban, bola memantul liar, langsung masuk. Sebuah metafora dari hidup rakyat: liar, tidak terkontrol, dan selalu berakhir di gawang sendiri.

Isa Warps? Berlari sendirian di depan seperti tokoh protagonis anime yang kehilangan seluruh teman-temannya di episode sebelumnya. Tanpa pasokan bola, tanpa harapan. Reva Octaviani dan kawan-kawan? Mereka bukan bermain sepak bola. Mereka sedang meditasi massal di atas rumput hijau dengan kostum nasional.

Masuk menit akhir, kita hanya berharap negeri Jirayut tidak mencetak gol ke-8. Alam semesta mengabulkan. Tendangan jarak jauh Pluemjai hanya membentur mistar. Seolah-olah Tuhan pun berkata: “Sudah cukup, Nak.”

Skor akhir? 7-0. Tapi bukan sekadar angka. Itu adalah simbol. Simbol ketimpangan. Simbol perbedaan kelas. Simbol bahwa sepak bola bukan sekadar pertandingan, tapi refleksi dari manajemen yang tambal-sulam, persiapan yang asal-asalan, dan filosofi, asal main, asal jadi, asal kirim tim.

Namun…

Kita tetap cinta. Bukan karena kita bodoh. Tapi karena cinta, kadang, memang begitu. Tidak rasional, tidak logis, dan sering bikin sakit hati. Tapi kalau bukan kita yang cinta Timnas Putri, siapa lagi? Apakah kita akan menyerah karena tujuh? Tidak. Kita orang Indonesia. Kita sudah terbiasa dihajar skor, realita, bahkan harga cabai.

Toh, dalam sepak bola, seperti dalam hidup, bukan soal berapa kali jatuh. Tapi berapa kali kita bangkit dan berkata, “Masih bisa lebih buruk, kan?”

Selamat kepada Thailand. Selamat merenung bagi kita semua.

Sepak bola bukan soal skor. Tapi soal bagaimana sebuah bangsa tetap mencintai meski dihajar berkali-kali, karena kadang yang penting bukan menang, tapi tidak kehilangan alasan untuk terus menonton. (*)

#camanewak