Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Kalah 1-2, tapi tidak menyakitkan. Timnas U17 harus mengakui, kualitas Mali memang di atas. Dengan meraih runner up, cukup lumayan sebelum tampil di Piala Dunia di Qatar mulai 3 hingga 27 November 2025. Di sini pasukan Nova Arianto akan menghadapi musuh sesungguhnya: Brasil, Honduras, dan Zambia. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Stadion Deli Serdang bukan sekadar lapangan bola, melainkan panggung wayang kosmik di mana 22 bocah belasan tahun bertarung, bukan dengan golok, tapi dengan bola bundar. Timnas melawan Mali. Dari luar, ini cuma laga persahabatan Piala Kemerdekaan. Tapi bagi kita, laga ini adalah ujian eksistensial.
Mali memang bukan tim kaleng-kaleng. Gol pertama lahir dari sundulan. Sundulan, wak! Kepala pemain Mali seperti meteorit jatuh, menembus gravitasi. Sementara bola kita ibarat planet kecil yang cuma bisa berkata, “Ya Allah, tolonglah aku!” Belum sempat kita tarik napas, gol kedua meledak. Tendangan jarak jauh Seydou Dembele, pantul tiang, masuk gawang, lalu kiper kita cuma bisa berdiri sambil menatap ke langit, mungkin berdoa, “Ya Tuhan, kenapa aku diberi pekerjaan ini?”
Namun, Garuda Asia bukan burung gereja. Kita membalas. Dari lemparan ke dalam, lemparan ke dalam, lho, bukan tiki-taka ala Barcelona, muncullah Fadly Alberto, menanduk bola ke gawang lawan. Sundulan itu bukan sekadar gol. Itu adalah manifesto eksistensi, bahwa anak-anak pemakan sambal terasi bisa melawan anak-anak Bamako.
Babak kedua jadi drama absurd. Mali main seperti lagi latihan di gym: lari, body charge, bola gampang diseret, seolah rumput lapangan adalah treadmill pribadi mereka. Kita? Sesekali coba nendang dari jauh, sesekali bikin blunder. Bahkan ada momen kiper Dafa keluar kotak penalti, lalu bola nyaris masuk. Adegan itu kalau ditulis dalam naskah film, pasti judulnya “Mission Impossible: Garuda Edition”. Untung bola meleset. Kalau masuk, mungkin Dafa sudah trending nomor satu di Tiktok dengan tagar #KiperNgapain.
Tapi di balik drama itu, sang pelatih, bilang, “Ini pelajaran penting.” Benar, sepakbola itu memang sekolah kehidupan. Kita kalah, tapi kita belajar. Mali mengajarkan kita bahwa sepak bola bukan sekadar lari dan nendang, tapi juga disiplin, otot, dan mental baja. Kita mungkin kalah 1-2, tapi bukankah sejarah Indonesia juga lahir dari kekalahan? Dari Diponegoro sampai Bung Karno, kita belajar kalah dulu sebelum bisa berdiri tegak. Kalau si bontot Garuda kalah dari Mali, itu bukan tragedi, itu blueprint kemerdekaan jilid dua.
Para pengamat juga ikut nimbrung. Ada yang bilang ini ironis, ada yang bilang Mali terlalu kuat, ada yang bilang kita tak mampu memanfaatkan peluang. Tapi hei, bukankah kritik itu vitamin? Dalam setiap komentar pedas pengamat, terselip doa agar suatu hari nanti, kita bukan hanya runner-up turnamen uji coba, tapi juara dunia yang bikin komentator Eropa bingung cara melafalkan nama “Fadly Alberto” dengan lidah Inggris mereka.
Mali juara, Indonesia runner-up. Terdengar pahit. Tapi ingat, runner-up itu artinya kita nomor dua terbaik, bukan nomor dua terbodoh. Di balik skor 1-2, ada 90 menit penuh darah, keringat, dan drama yang membuat kita sadar: Timnas U-17 bukan sekadar tim sepak bola, mereka adalah cermin absurd bangsa ini. Kadang kita jatuh, kadang kita ngelawak, kadang kita bikin blunder, tapi selalu ada satu sundulan, satu semangat, satu Garuda yang bikin kita bangga berkata, “Ini Indonesia, Bung! Kita kalah hari ini, tapi besok, siapa tahu, kita bikin Mali menari poco-poco di Bamako!”
Itu bukan kekalahan. Itu adalah latihan silat versi sepak bola, gaya absurd, indah, sekaligus mematikan. Kita semua penontonnya, ikut tertawa, ikut kecewa, tapi tetap menepuk dada sambil berkata, Garuda, kami bangga padamu. (*)
#camanewak