Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Ungkapan itu sedang viral, wak. Diambil dari serial film Bidaah, produksi negeri jiran. Ntah kenapa film itu menjadi terkenal? Mungkin ada kesamaan dengan fenomena di negeri kita. Mungkin? Yok, kita kupas tentu dengan kopi liberika.
Ketika logika sudah pensiun dini dan nafsu naik pangkat jadi ustaz, lahirlah tokoh ikonik bernama Walid Muhammad dari serial Bidaah, drama Malaysia yang baru-baru ini viral di TikTok. Ia bukan sekadar tokoh fiksi. Ia adalah simbol. Simbol bagaimana agama bisa dibengkokkan seperti sendok warung prasmanan, asal kuat niat, semua bisa dilenturkan.
Dalam serial tersebut, Walid adalah pemimpin sekte bernama Jihad Ummah, kelompok keagamaan yang katanya membawa umat menuju Tuhan, tapi di tengah jalan malah singgah ke kamar Dewi. Dengan jubah putih dan kata-kata manis seperti sirup di bulan puasa, Walid merayu para pengikut perempuan lewat konsep “pernikahan batin.” Bukan batin karena sakral, tapi batin karena korban harus menahan sakit, malu, dan air mata.
Lalu, muncul adegan viral, “Walid nak Dewi, boleh?”
Kalimat ini dilontarkan Walid saat ingin menjadikan Dewi, salah satu pengikutnya, sebagai istri spiritual. Sebuah kalimat yang lembut di telinga, tapi tajam di hati. Bukan sekadar rayuan, tapi manipulasi. Bukan cuma gombal, tapi penyalahgunaan kuasa. Ironisnya, alih-alih mengundang kemarahan, kalimat ini jadi bahan meme. Netizen tertawa, konten kreator berlomba-lomba bikin parodi, sementara pesan seriusnya tenggelam di laut lelucon.
Fenomena ini bukan sekadar tontonan. Ia cermin sosial yang memantulkan wajah para lelaki “suci-suci syariah” yang suka sekali bilang, “Menikah lagi itu sunnah.”
Padahal mereka menafsirkan sunnah hanya di bagian nikahnya, lupa bahwa Nabi juga menyapu rumah dan menjahit baju sendiri.
Mereka berdalih ingin “menyelamatkan janda-janda malang” padahal yang malang justru istri pertama, kedua, dan ketiga, yang hidupnya berubah jadi episode telenovela penuh air mata dan biaya hidup.
Mereka bangga bisa berlaku “adil,” padahal adil mereka hanya soal jatah malam, bukan jatah susu anak. Istri pertama dapat cemburu, istri kedua dapat harapan, istri ketiga dapat giliran lebaran, dan istri keempat, kalau masih sanggup, dapat tagihan.
Drama Bidaah sebenarnya membawa pesan penting, betapa bahayanya bila agama diselewengkan oleh pemuka karismatik yang haus kuasa dan syahwat. Di balik setiap “Walid nak Dewi, boleh?” tersimpan ribuan kisah nyata tentang perempuan yang dimanfaatkan atas nama Tuhan. Namun masyarakat lebih suka tertawa dari berpikir. Lebih sibuk menghafal quote viral dari mencerna makna.
Kalau ente hari ini mengetik pesan kepada istri pertama dengan gaya Walid, berharap dia menjawab dengan ikhlas dan air mata tertahan, cobalah bercermin. Tanyakan, apakah kamu sungguh ingin “membahagiakan” lebih banyak perempuan, atau sekadar memperbanyak korban dari kegagalanmu memahami cinta?
Karena cinta itu bukan menambah istri, tapi menambah tanggung jawab. Kalau kamu masih pakai kalimat “Walid nak Dewi, boleh?” sebagai pembuka, maka izinkan kami menjawab dengan santun, “Nak Dewi? Boleh. Tapi logika dan kewajibannya dulu ditunaikan, ya. Bukan ditukar dengan janji manis atas nama ilahi.”
Hadeh..! Ngopi lagi wak! (*)
#camanewak