Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Warisan Kolonial dalam Birokrasi dan Elite Politik Kita?

December 30, 2024 18:18
Albertus M. Patty (Foto: Dok. Pribadi/ Hatipena)
Albertus M. Patty (Foto: Dok. Pribadi/ Hatipena)

REFLEKSI AKHIR TAHUN 2024

Albertus M. Patty

BANYAK pakar sepakat bahwa penyebab utama mandeknya kemajuan suatu bangsa terletak pada birokrasi dan elite politiknya. Masalahnya bukan pada kedunguan mereka, seperti sindiran Rocky Gerung. Akar permasalahan justru terletak pada lumpuhnya moralitas.

Orang dungu tidak paham kesalahan yang dibuatnya. Orang yang lumpuh moralitas selalu siap merasionalisasikan ‘kesalahannya’ dan siap juga, dengan bantuan para influencers, menggeser perhatian masyarakat dari ‘persoalannya’. Sistem politik dan hukum akan dibuat untuk menjustifikasinya. Lumpuhnya moralitas melahirkan mentalitas korup, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi biang keladi kerusakan.

Tesis bahwa birokrat dan elite politik sebagai sumber utama persoalan bangsa dikemukakan secara gamblang oleh Acemoglu dan Robinson dalam Why Nations Fail, dan oleh Francis Fukuyama dalam Trust. Fukuyama menegaskan bahwa birokrasi modern yang efektif harus berbasis pada kepercayaan (trust), tetapi di banyak negara, terutama di negara-negara di Afrika dan Amerika Latin, kepercayaan itu telah terkikis. Itulah sebabnya kebijakan apa pun yang diambil, misalnya kenaikan PPN 12 persen yang memberatkan masyarakat, pasti mendapatkan resistensi dan protes sangat keras. Protes muncul karena hilangnya ‘trust’. Protes itu tidak akan terjadi bila saat yang sama pemerintah membersihkan dirinya sendiri dari birokrat dan elite politik yang korup dan rakus.

Somalia menjadi contoh ekstrem. Menurut Acemoglu dan Robinson, warisan kolonial Somalia dirancang untuk eksploitasi sumber daya manusia dan alam, bukan membangun pemerintahan berdaulat yang berakar pada masyarakat. Jadi, meski bangsa Somalia sudah merdeka dari penjajah luar, mentalitas penjajah justru diwarisi oleh elite politik lokalnya. Elite lokal ini berperan sebagai penjajah baru yang mengeksploitasi rakyat dan alamnya dengan kebijakan yang korup dan menguntungkan mereka. Rakyat Somalia semakin menderita sementara elite politiknya berfoya-foya dengan fasilitas mewah dan megah.

Pertanyaannya adalah apakah kasus dimana warisan kolonialis dengan kecenderungan korup yang merusak mentalitas birokrasi dan elite politik Somalia, dan negara-negara Amerika Latin, telah juga merusak mentalitas birokrasi dan elite politik bangsa kita? Mungkin saja! Mari kita telisik.

Warisan Mentalitas Korup VOC
Di Indonesia, pengaruh penjajah yang dimulai dari institusi perdagangan VOC (Belanda) dalam membentuk budaya dan mentalitas birokrasi kita tak dapat diabaikan. Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia menjelaskan bagaimana VOC membangun monopoli dan memaksakan pajak tinggi, menciptakan pola eksploitasi ekonomi yang diwariskan pada pemerintahan kolonial Belanda dan kemudian pemerintahan modern Indonesia.

Tim Hannigan dalam Raffles and The British Invasion of Java menambahkan bahwa sistem administrasi VOC, yang penuh korupsi dan inefisiensi, telah menjadi akar kelemahan birokrasi Indonesia. Hannigan, bahkan memberikan peringatan yang lugas dan tajam. Menurutnya, pada akhirnya VOC luluh lantak dan bubar oleh sistem dan praktik korupsi yang mereka bangun sendiri.

Meilink-Roelofsz dalam The Dutch in the Indian Ocean Trade menyoroti bahwa VOC lebih fokus pada eksploitasi jangka pendek tanpa memperhatikan sama sekali dampak sosial atau politik yang memberatkan masyarakat lokal. Dia menduga, sistem eksploitatif dan elitis ini diwariskan pada birokrasi modern Indonesia.

Warisan kolonial ini menciptakan budaya birokrasi yang eksploitatif dan tak peduli pada rakyat. Elite politik dan birokrasi lebih sibuk memperkaya diri daripada membangun bangsa. Bangsa kita seperti sebuah truk besar yang melaju dengan mesin penuh karat dan rem yang blong. Kita sedang berada dalam bahaya besar! Kita hanya berharap bangsa ini sedang dikendalikan oleh seorang supir yang cerdas serta berintegritas. Sang supir harus bisa mengendalikan truk besar itu, sekaligus mampu bersikao tegas menurunkan supir-supir ‘tembak’ mabok yang ingin ikut mengendarai truk besar truk besar ini. Bila supir truk ini gagal mengendalikan truk besar ini, kita akan seperti Somalia yang hancur berantakan.

Dibutuhkan reformasi besar-besaran untuk memutus rantai korupsi ini. Langkah strategis harus dimulai dari membangun sistem yang berbasis pada kepercayaan dan transparansi, sambil menanamkan moralitas yang kokoh mulai dari lingkungan birokrasi dan elite politik, aparat hukum, dan sampai ke masyarakat. Hanya dengan kerja keras dan kerja cerdas serta dengan integritas yang kokoh, perjalanan bangsa kita ini terus melaju dan akan tiba di tujuan dengan selamat. Amien!

Bandung, 30 Desember 2024