Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Sejak kecil saya suka cerita Purnama-tilem, kisah Kala Rau. Jika terjadi gempa wak saya, langsung mengeluarkan cakepan; kene arti linuhe.
Waktu SD menghafal eka wara, dwi wara dan seterusnya yang disebut wewaran menjadi menu wajib. Saya hafal sejak kecil. Paradoksnya, makin ditahu, makin tidak tahu, tapi bukan ini yang menyebabkan saya botak.
Saya kira sistem waktu Bali ini kaya makna, tapi terlupakan oleh nalar. Sistem wewaran di Bali adalah salah satu warisan budaya yang paling kompleks sekaligus paling membingungkan dalam dunia tradisi.
Di satu sisi, ia adalah mahakarya dalam memaknai waktu. Di sisi lain, ia mengungkapkan bagaimana manusia kadang lebih mengutamakan simbol daripada realitas astronomi.
Wewaran membentuk kalender Pawukon yang berputar setiap 210 hari. Seakan tidak berpangkal dan tidak berakhir. Bukan berdasarkan rotasi bumi mengelilingi matahari, bukan juga berdasarkan perjalanan bulan mengitari bumi, tetapi para tokoh banyak yang menyebut bahwa perhitungan menggunakan surya (matahari) dan candra (bulan).
Tampaknya wewaran berdiri sendiri—seperti dunia dalam dunia—menjadi acuan ritual, pertanian, perjalanan, bahkan mencari peruntungan di dunia tajen, gocekan berdagang, termasuk membangun rumah dan menentukan kapan baiknya seorang anak lahir karena bedah cesar.
Tetapi pertanyaannya kemudian: sejauh mana sistem ini logis?
Dalam kalender Masehi, satu tahun disusun berdasarkan satu putaran penuh bumi mengelilingi matahari: 365,25 hari.
Dalam kalender Saka Bali, perhitungan fase bulan diselaraskan dengan posisi matahari, lewat purnama, tilem, penanggal, pangelong—sehingga tetap terkait dengan fenomena nyata di langit.
Namun Pawukon? Ia berputar dalam 210 hari, lalu mulai lagi dari awal, tanpa koreksi terhadap siklus astronomi manapun.
Kalau dua siklus Pawukon digabung, jadinya 420 hari—jauh lebih panjang daripada satu tahun matahari (365 hari).
Kalau satu siklus dianggap “separo tahun”, tetap saja tidak sinkron dengan apa pun yang terjadi di langit.
Artinya, wewaran hidup dalam dunia sendiri, lebih sebagai arsitektur budaya ketimbang sains waktu.
Dalam masyarakat Bali modern, penggunaan wewaran tetap bertahan dalam ritus upacara, perhitungan dewasa ayu, dan kepercayaan masyarakat desa adat. Maka itu, kalender Bali bertengger di rumah-rumah warga Bali. Logis dan tidak logis, ia tetap menjadi acuan.
Tetapi bagi banyak orang muda, apalagi yang hidup dalam orbit dunia global, wewaran mulai terasa sebagai “formalitas spiritual” tanpa koneksi logis terhadap ritme hidup nyata.
Ini menunjukkan bahwa sistem sebesar dan seindah ini rentan menjadi upacara simbolik tanpa penghayatan jika tidak lagi dipahami maknanya secara utuh. Karena itu literasi menjadi penting. Masalahnya siapa yang melaksanakan? Kapan? Dimana? Jangan-jangan malah makin membuat bingung.
Kalender yang awalnya diciptakan untuk menyelaraskan manusia dengan alam,
lama-lama bisa berbalik menjadi sistem yang memperumit hidup manusia dengan ketentuan-ketentuan yang kehilangan konteks.
Misalnya: memilih tanggal baik untuk menikah bisa menjadi urusan berbulan-bulan, bukan berdasarkan kesiapan manusia, tetapi karena “hari ini kliwon paing, sukra manis jangan, bahaya.”
Bumi tetap berputar, matahari tetap terbit dan tenggelam, bulan tetap mengembang dan mengecil—tak peduli manusia menghitungnya dengan pawukon, masehi, saka, atau apa pun.
Akhirnya, pilihan waktunya mencari tanggal merah; kapan libur? Semua semua bisa datang. (*)
Denpasar, 27 April 2025