Catatan Cak AT
HATIPENA.COM – Menjelang Idulfitri, suasana mendadak berubah. Masjid-masjid penuh, para petugas takmir mulai sibuk mencatat pembayaran zakat, dan yang paling berbahagia adalah anak-anak yang sudah bersiap berburu amplop THR. Tapi tunggu dulu, mari kita kembali ke sebuah kewajiban tahunan yang sering dianggap remeh: zakat fitrah.
Rasulullah ﷺ telah mewajibkan zakat fitrah kepada seluruh kaum Muslimin, baik yang merdeka maupun hamba sahaya, laki-laki maupun perempuan. Semuanya, tanpa kecuali. Satu sha’ kurma, satu sha’ gandum, atau kalau di Indonesia, setara dengan beras sekitar 2,5-3 kg. (Hr. Bukhari dan Muslim).
Secara bahasa, kata fitrah berasal dari bahasa Arab فِطْرَة (fitrah), yang berarti keadaan asal, suci, atau pembawaan alami manusia. Dalam konteks zakat, zakat fitrah disebut demikian karena berkaitan dengan fitrah manusia, sebagai bentuk kesucian dan penyucian diri setelah Ramadan.
Dalam hadits Ibnu Abbas ra disebutkan: “Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari perkataan yang sia-sia dan keji, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” (Hr. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Selain itu, ia menandai kembalinya manusia kepada keadaan asal setelah Ramadan. Ramadan adalah bulan penyucian jiwa, dan zakat fitrah menjadi bentuk penyempurnaan ibadah sebelum kembali ke kehidupan sehari-hari.
Coba kita renungkan, kalau Rasulullah ﷺ menyebutnya sebagai “penyucian bagi orang yang berpuasa dari perkataan yang sia-sia dan keji” serta “makanan bagi orang miskin” (Hr. Abu Dawud dan Ahmad), maka jelas zakat fitrah bukan sekadar ritual tahunan tanpa makna.
Ia adalah jembatan antara ibadah individual dan tanggung jawab sosial. Artinya, puasa kita bisa jadi bolong di sana-sini akibat gosip sore hari dan keluhan di tengah cuaca terik. Nah, zakat fitrah ibarat pencuci dosa kecil yang bisa menyempurnakan amalan Ramadhan kita.
Di sinilah uniknya Islam, yang selalu menekankan ketepatan waktu. Zakat fitrah harus dikeluarkan sebelum shalat Idulfitri (Hr. Bukhari dan Muslim). Kalau terlambat? Rasulullah ﷺ mengatakan, “Barang siapa menunaikannya setelah shalat, maka ia hanya menjadi sedekah biasa seperti sedekah lainnya.” (Hr. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Coba bayangkan, betapa banyak zakat fitrah yang disalurkan terlambat. Sebagian besar kita baru sibuk mengeluarkan zakat di malam takbiran, padahal Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa para sahabat bahkan memberikan zakat fitrah satu atau dua hari sebelum Id. (Hr. Bukhari).
Jadi, kalau mau zakat fitrah efektif, pastikan dana itu benar-benar sampai ke tangan yang membutuhkan sebelum Id, bukan setelahnya ketika si penerima malah kebingungan mau beli apa.
Zakat fitrah ini punya dua sisi penting: menyucikan jiwa si pemberi dan membantu kaum miskin. Tapi pertanyaannya, apakah zakat fitrah kita benar-benar sampai kepada yang membutuhkan? Atau hanya berpindah tangan dari kotak infak masjid ke kantor panitia zakat yang kemudian mendistribusikannya secara tidak merata?
Mari kita kembali ke hadits yang mengatakan, “Dahulukan dirimu sendiri.” (HR. Muslim). Jelas, kita diminta untuk memperhatikan keluarga terlebih dahulu sebelum berzakat.
Namun, hadits lainnya juga mengingatkan, “Mulailah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu.” (HR. At-Tirmidzi). Artinya, zakat fitrah bukan hanya sekadar menyelesaikan kewajiban, tetapi juga memastikan distribusinya tepat sasaran. Jangan sampai zakat fitrah hanya jadi formalitas tanpa ada dampak nyata bagi penerimanya.
Ada satu fenomena menarik: banyak orang membayar zakat fitrah dengan beras berkualitas rendah atau uang yang jumlahnya pas-pasan. Padahal, kita disunnahkan untuk memberikan yang terbaik, sebagaimana para sahabat mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk makanan yang memang dikonsumsi sehari-hari, seperti gandum, kismis, atau keju kering. (Hr. Bukhari dan Muslim).
Jadi, jika kita benar-benar ingin mengikuti sunnah, berikanlah zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok yang layak dikonsumsi. Jangan sampai orang miskin justru menerima beras berkualitas buruk yang bahkan tidak layak dimasak. Bukankah ini bertentangan dengan semangat zakat fitrah itu sendiri?
Ada satu hadits yang cukup menggelitik. Rasulullah ﷺ pernah melarang Umar bin Khattab membeli kembali kuda yang pernah ia sedekahkan, bahkan dengan harga murah. Beliau menyamakan tindakan itu dengan anjing yang menjilat kembali muntahnya! (HR. Bukhari dan Muslim). Begitulah, setelah kita ikhlas berzakat, jangan sampai muncul godaan untuk menarik kembali manfaatnya, entah dengan cara mengharapkan balasan duniawi atau mengungkit-ungkit pemberian.
Sebagai penutup, mari kita ingat kembali doa Rasulullah ﷺ kepada orang-orang yang menunaikan zakat: “Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada keluarga Fulan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Zakat fitrah bukan sekadar angka atau kewajiban administrasi, tetapi ikatan kasih sayang antara sesama Muslim.
Jadi, di Idulfitri kali ini, mari pastikan zakat fitrah kita benar-benar bernilai: tepat waktu, tepat sasaran, dan berkualitas baik. Jangan sampai ibadah ini hanya menjadi ritual tahunan tanpa makna, apalagi sekadar menebus rasa bersalah akibat puasa yang bolong karena terlalu sering scrolling media sosial.
Yuk, jadikan zakat fitrah sebagai simbol kepedulian sejati, bukan hanya rutinitas tanpa ruh! (*)
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 29/3/2025