Ilustrasi : Wak Rojam
Penulis : Rosadi Jamani *)
HATIPENA.COM – Wak, duduk yang rapi, kopi siapkan, ini serius. Ini soal ibadah. Tinggalkan dulu soal si ehem. Esok puasa, saatnya kembali ke fitrah.
NU dan MU udah klop. Esok semua sepakat puasa. Hebat ni Prabowo bisa membuat dua ormas itu satu suara. Ada sebuah tradisi jelang puasa, ziarah kubur! Ini yang mau saya bahas, wak.
Tadi pagi, saya melewati beberapa pemakaman muslim. Astaga! Pemandangannya seperti konser akbar, hanya saja tanpa panggung dan lampu sorot. Jalanan macet, penjual bunga berjejer rapi, tukang parkir mendadak sibuk seperti petugas lalu lintas, dan pedagang gorengan laris manis bak kacang rebus di tengah hujan. Bahkan ada yang menjajakan es kelapa muda, seolah menyadari bahwa berziarah juga bisa bikin haus.
Di dalam area makam, pemandangan lebih dramatis. Peziarah datang dengan mata berkaca-kaca, membawa bunga, air doa, dan seember semangat gotong royong. Kuburan yang sepanjang tahun terabaikan kini mendapat perhatian lebih dari kamar sendiri. Rumput liar dicabut dengan kecepatan dan ketelitian bak petani di musim panen, batu nisan disikat hingga kinclong, dan beberapa bahkan menyiram tanahnya dengan parfum non-alkohol, mungkin supaya arwah yang bersemayam di dalamnya tetap wangi.
Sungguh, jika orang-orang yang di kubur bisa bicara, mereka mungkin akan berteriak, “Akhirnyaaa! Setahun sekali ada yang ingat kami! Alhamdulillah ya Allah!”
Tapi, seperti biasa, di tengah kesyahduan ini, ada suara-suara skeptis yang selalu mengernyitkan dahi sambil berkata, “Ini bid’ah! Tidak ada di zaman Nabi!”. Mereka merasa perlu mengingatkan bahwa mendoakan orang mati di kuburan bisa berpotensi syirik. Namun, mereka lupa satu hal penting, tanpa ziarah kubur, ekosistem akan kacau!
Coba bayangkan kalau tidak ada ziarah kubur. Pemakaman akan berubah jadi hutan belantara. Rumput-rumput liar tumbuh subur, menciptakan habitat baru bagi ular, biawak, dan mungkin sesosok makhluk halus yang sedang menunggu kesempatan untuk tampil di channel YouTube horor.
Ekonomi UMKM runtuh. Penjual bunga gulung tikar, tukang parkir kembali ke kehidupan tanpa arah, dan pedagang gorengan kehilangan pelanggan setianya yang biasa ngemil bakwan setelah menangis di depan nisan.
Lalu lintas aman sentosa. Tanpa ziarah, jalanan sekitar kuburan jadi lengang. Tidak ada drama macet, tidak ada klakson marah-marah, dan tidak ada momen refleksi spiritual di tengah antrean parkir.
Maka, inilah kesimpulannya, ziarah kubur bukan sekadar ibadah, tetapi juga misi penyelamatan lingkungan dan pemulihan ekonomi rakyat! Jika ini bukan perbuatan baik, saya tidak tahu lagi apa definisi kebaikan.
Tapi ingat, jangan sampai niat suci ini ternoda dengan perilaku absurd. Jangan ziarah cuma buat selfie dengan caption “Miss you, Dad. Al-Fatihah”, lalu dua menit kemudian update story makan bakso di depan gerbang kuburan. Itu bukan ziarah, itu tur wisata mistis berkedok religius!
Mari berziarah dengan khusyuk. Bersihkan makam, kirimkan doa, renungkan kematian, dan pulanglah dengan kesadaran bahwa suatu saat nanti, kita juga akan dikunjungi, minimal setahun sekali, oleh keturunan yang mungkin datang. Mungkin juga tidak.(*)
Marhaban ya Ramadan.
#camanewak
*) Ketua Satupena Kalbar