HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

“Jokowi’s White Paper”, dari Bantal Tidur ke Politik

September 21, 2025 11:02
IMG_20250921_104451

TEKA-TEKI IJAZAH JOKOWI (1)

Catatan Satire: Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung

HATIPENA.COM – Beberapa minggu lalu saya dapat kiriman buku berjudul “Jokowi’s White Paper”. Tebalnya 700 halaman. Bagi saya, ini merupakan rekor pribadi, karena sebelumnya, buku yang pernah saya punya paling tebal adalah novel “Pangeran dari Timur”, dengan 593 halaman. Jadi kalau dua buku ini disatukan, bisa untuk bantal tidur darurat bagi mahasiswa indekos yang diusir ibu kosnya.

Tapi di sini, saya bukan ingin bercerita tentang fungsi ergonomis sebuah buku tebal sebagai alat tidur, melainkan bercerita sekelumit soal isinya. Coba perhatikan, dari judulnya saja, White Paper, sudah bikin nyali ciut. Kertas putih itu kan biasanya identik dengan lembaran kosong saat ujian semester. Gimana pembaca nggak deg-degan, liat bukunya aja sudah seperti lembaran BAP kasus kriminal di kantor polisi, bukan bahan bacaan.

Cover-nya pun bikin kening berkerut, seperti ada gambar siluet sepotong ijazah, sepotong tangan, lalu sepotong wajah yang mirip bekas presiden kita, Jokowi. Meski cuma sebentuk garis tapi tak kalah filosofis. Saya bahkan sempat mikir, jangan-jangan ini bukan buku melainkan kumpulan soal ujian masuk perguruan tinggi, yang nambah bikin sakit kepala.

Terus terang saja, untuk membaca buku setebal ini membutuhkan epport yang kuat. Baru lihat daftar isi enam halaman saja, saya buru-buru cari kafein. Penulisnya pun nggak kaleng-kaleng: RRT alias Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma. Tiga orang ini, adalah musuh bebuyutan para buzzer yang sering membully di media sosial. Bayangkan, mereka ini kerja bakti demi membedah selembar ijazah – foto copy pula. Padahal rakyat kebanyakan seperti kita ini, untuk baca tagihan listrik aja sering malas, apalagi baca kode algoritma yang njelimet.

Di dalam buku ini, semua dibahas secara keilmuan. Mulai dari tinta, jenis kertas, tanda tangan, stempel sampai foto yang tertera di ijazah tersebut. Ternyata bagi ketiga penulis buku itu, kertas bukan cuma kertas, melainkan memiliki persoalan yang sangat kompleks daripada sekadar rumus fisika kuantum. Baru membaca satu bab saja, saya seperti sedang ikut kuliah khusus jurusan forensik kertas, yang kayaknya belum diajarkan di kampus mana pun.

Dan memang “Jokowi’s White Paper” bukan buku receh. Ia menggabungkan digital forensik, telematika, dan neurosains perilaku, serta politik kekuasaan. Ngerti nggak maksudnya? Bingung ya? Tenang, saya juga bingung. Tapi kira-kira maksudnya begini: untuk membuktikan keaslian sebuah ijazah, mereka bersedia membongkar setengah dari ilmu pengetahuan dunia.

Roy Suryo, sesuai dengan habitatnya, ia membedah ijazah itu dari sisi telematika sampai dengan serabut optik terkecil. Rismon meneliti dari sisi forensik dokumen dengan tingkat keseriusan ala astronot Neil Amstrong, sementara Tifauzia Tyassuma membawa pembaca ke laboratorium neurosains. Ternyata, selain ijazah, otak kita ikut juga diperiksa untuk mengetahui apakah masih sanggup mencerna halaman demi halaman, atau sudah angkat tangan di halaman 25.

Di dalam buku itu, narasi mereka tidak hanya ke individu Jokowi. Buku itu juga malah memotret masyarakat: mengapa publik meragukan simbol negara atau percaya hanya dari selembar kertas. Artinya, ijazah bukan sekadar lembaran kertas, melainkan sudah naik status menjadi instrumen psikologi massa. Mungkin kita baru sadar, betapa sakralnya sebuah dokumen manakala ditempatkan di panggung politik.

Lalu muncul pertanyaan besar: apa artinya kebenaran, keaslian, dan sebuah legitimasi di republik ini? Bayangkan, kalau ijazah bisa jadi bahan perdebatan nasional, lalu bagaimana nasib surat tanah yang ada di lemari kita, KTP, atau bisa juga struk belanja di Indomaret? Bisa jadi suatu hari kelak, harus menulis buku setebal 700 halaman juga, untuk membuktikan bahwa benar-benar membeli alat pembalut.

Dan yang membuat tambah seru, ada kelompok yang yakin ijazah Jokowi itu asli. Padahal, mereka – termasuk polisi – belum pernah sama sekali melihat dokumennya langsung. Sepertinya, keyakinan mereka lebih kuat ketimbang iman jemaah majelis taklim. Sungguh luar biasa. Kalau begitu, bagaimana kalau untuk membantah buku putih ini, terbitkan juga buku versi tandingan, “Jokowi’s Original Paper”.

Saya bisa bayangkan, etalase toko buku bakal dipenuhi duel intelektual: yang satu buku White Paper, dan satunya lagi Original Paper. Dan rakyat tinggal pilih, seperti memilih mie instan apakah mau rasa kari ayam atau rasa soto. Cuma bedanya, buku itu bisa bikin darah tinggi, tapi mie instan cuma buat kenyang sesaat.

Namun di balik semua kelucuan itu, buku ini sejatinya memberi cermin. Sepertianya, dunia politik kita sudah sebegitu absurdnya, sampai-sampai ijazah yang menentukan masa depan kita, akhirnya jadi bahan pertarungan moralitas, intelektual, dan hukum. Dunia bisa jadi heran, bangsa sebesar ini, kok mau-maunya dikadalin dengan selembar ijazah. Bukan cuma sekali tapi berkali-kali. Tapi mau bagaimana lagi? Selalu ada ruang untuk bertransaksi demi kebutuhan perut atau prestise, lalu menjadi sebuah komedi politik dalam drama dokumenter.

Jadi, apa kesimpulannya? Sabar, tulisan buku ini sangat panjang. Yang jelas, kalau ada yang mau membantah buku “Jokowi’s White Paper” silakan, tapi jangan cuma komen seperti para buzzer, pakai buku juga supaya imbang. Dengan begitu, rakyat jadi punya pilihan bahan bacaan, walaupun akhirnya bakal lebih sering dipakai untuk bantal tidur.

Tetapi siapa tahu, nantinya perpustakaan nasional bakal punya rak khusus, “Referensi Ijazah Presiden”. Satu bangsa dengan selembar kertas, tetapi sejuta kontroversi. (*)

Bandar Lampung, 21 September 2025
#MakDacokPedom