Membaca Buku “Menelisik Lampung”
Catatan Kaki : Rizal Pandiya
Penggiat Literasi/ Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Di dunia ini, ada dua jenis manusia, pertama, yang butuh kopi untuk kehidupan, dan yang kedua hidupnya sudah kayak kopi – meskipun pahit, tapi masih dicari-cari. Nah, Salwa Myharani sepertinya termasuk kategori yang kedua. Dari puisinya saja, “Kata Robusta”, kita boleh menduga, ini jangan-jangan dia tak hendak menulis tentang kopi, melainkan sedang curhat tentang dirinya sendiri.
Coba amati bait awalnya: ruwa jurai / lereng gunung sepi / kabut begitu lebat / biji kopi mekar
Dari kata “Ruwa Jurai”, ini jelas sebuah identitas – Lampung tanah kelahiran, di sini sebagai tempat segala rasa berawal. Tapi di “lereng gunung sepi” itu juga menarik. Karena di tengah keheningan, seperti ada sesuatu yang tumbuh, yaitu “biji kopi mekar.” Ini artinya, di tengah-tengah kesunyian, ada gagasan, ada ide, ada makna, dan ada cinta, yang sedang bersemi. Sepertinya Salwa sedang mencurahkan hatinya, bahwa inspirasi itu justru datangnya di saat sepi, bukan di keramaian sebuah kafe yang WiFi-nya deras bagaikan air mancur.
Bait kedua mulai menghangatkan suasana: gemersik dedaunan / tepukan reranting / tawa burung-burung / menyambut pagi
Sepertinya, ini semacam “intro sebuah lagu.” Salwa seolah ingin bilang, “Hei, hidup itu bukan cuma tentang menunggu senja dan rangkaian kata-kata yang galau, melainkan juga tentang mendengar burung-burung tertawa. Di sini ia menunjukkan mindfulness versi sastra, menikmati suasana yang sederhana, bagaikan suara ranting nan menepuk angin.
Namun sampai di bait ketiga, sepertinya narasi puisinya berubah nada: ini kata robusta / “nikmatku membanjiri / bibir-bibir / setiap hari”
Sungguh, kalimat ini membuat kita mikir dan bisa membuat salah paham manakala mendengar kata bibir. Tapi justru di situlah letak keindahan puisi Salwa. Ia berhasil menggoda imajinasi siapa saja yang mendengarnya tanpa niat jahat.
“Nikmat membanjiri bibir” jelas ini sebuah metafora yang sangat sensual yang bisa membangkitkan sensasi, tapi bukan erotis. Ini sesugguhnya kenikmatan hidup nan sederhana, seperti menyesap secangkir robusta hangat tanpa gula tanpa saringan, di pagi dingin.
Lalu di mana puncak makna puisi ini? Ada di bait terakhir: kata kopi robusta, / “meski pahit, / kupahami luka / kupeluk rindu pulang”
Nah, ini adalah sebuah narasi dengan bait yang paling jujur dan sangat manusiawi. Rupanya, robusta di sini tidak sekadar jenis minuman kopi, melainkan sebuah karakter jiwa yang tahan banting, kuat, tapi sadar bahwa ternyata pahit itu adalah bagian dari sebuah perjalanan hidup. Seolah-olah penulis puisi ini sedang bicara dengan dirinya sendiri, “Aku tahu hidup tidak selalu manis, namun aku akan tetap memeluknya.”
Kalau boleh kita menduga sedikit, mungkin ini sebuah refleksi dari perjalanan hidup Salwa sendiri. Seorang puan muda yang sedang meniti jalan di dunia akademik dan kesusastraan. Di situ ia menulis, membaca, lalu mengajar, sekaligus bertahan di tengah rasa pahit-manisnya realitas yang dihadapi.
Puisi “Kata Robusta” ini, sebenarnya bukan sekadar tentang kopi saja, melainkan tentang cara berkehidupan yang memandu kita untuk menikmati yang pahit tetapi dengan cara sesuatu yang manis. Kalau pun Salwa menulisnya sembari menyeruput robusta, kita pun yang membacanya seakan ikut menikmati aromanya. Getir sih, tapi bikin candu.
Dan berkemungkinan, jika nanti Salwa menggubah puisi menjadi syair lagu, maka ia tak perlu takut dengan pahitnya kehidupan. Karena seperti “kata robusta”, justru di kepahitan itulah sejatinya ada tersimpan sebuah kenikmatan. (*)
Bandar Lampung, 17/10/2025
#MakDacokPedom