Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah
HATIPENA.COM – Setiap tanggal 23 April, dunia memperingati Hari Buku Sedunia—sebuah momen reflektif yang bukan sekadar perayaan simbolik, melainkan ajakan universal untuk kembali menengok akar pengetahuan, buku.
Di tengah gempuran teknologi digital, eksistensi buku cetak kerap dipertanyakan. Namun, buku tetap menyimpan daya magis, ia tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga menyimpan jejak intelektual dan spiritual manusia lintas zaman.
UNESCO menetapkan 23 April sebagai Hari Buku Sedunia untuk menghormati kontribusi para penulis besar, seperti William Shakespeare dan Miguel de Cervantes, yang wafat pada tanggal tersebut. Maka, hari ini adalah penghormatan bagi mereka yang menyalakan lentera ilmu lewat kata.
Lebih dari itu, Hari Buku menjadi momentum membangkitkan minat baca yang kini semakin tergerus. Data UNESCO menunjukkan bahwa tingkat literasi global meningkat, namun tantangan baru muncul: bagaimana mempertahankan kedalaman membaca di era serba cepat dan instan.
Di Indonesia, tingkat literasi masih menjadi pekerjaan rumah. Survei PISA tahun 2022 menunjukkan bahwa kemampuan membaca pelajar Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara OECD. Angka ini mengisyaratkan bahwa membaca belum menjadi budaya yang mengakar kuat.
Padahal, membangun budaya membaca berarti membangun masa depan. Negara-negara maju seperti Finlandia dan Jepang menunjukkan bahwa investasi pada literasi adalah fondasi keberhasilan pendidikan dan kemajuan bangsa.
Hari Buku Sedunia seharusnya menjadi alarm pengingat, bukan hanya bagi individu tetapi juga bagi institusi. Sekolah, perpustakaan, dan pemerintah harus menciptakan ekosistem literasi yang inklusif dan menggugah.
Kampanye literasi tidak boleh berhenti pada slogan. Ia perlu diwujudkan dalam aksi konkret, pengadaan buku yang merata, pelatihan guru literasi, hingga menjadikan perpustakaan sebagai ruang hidup yang menyenangkan bagi masyarakat.
Buku bukan sekadar benda mati. Ia adalah jendela yang membuka cakrawala, sekaligus cermin yang memantulkan nilai dan identitas. Setiap halaman yang dibaca adalah pertemuan dengan ide, imajinasi, dan hikmah.
Sayangnya, budaya membaca sering kalah oleh godaan visual dan kecepatan informasi digital. Anak-anak tumbuh lebih akrab dengan gawai daripada buku, dan orang dewasa terjebak dalam arus berita singkat ketimbang menyelami karya sastra atau pemikiran mendalam.
Namun, teknologi tidak harus menjadi lawan buku. Buku digital (e-book) dan platform literasi daring justru bisa menjadi jembatan untuk menjangkau pembaca yang lebih luas.
Hari Buku Sedunia bisa menjadi titik tolak sinergi antara tradisi membaca dan kemajuan teknologi. Perpustakaan digital, klub baca daring, dan diskusi virtual adalah bentuk adaptasi yang memperluas makna literasi.
Yang terpenting adalah membangun kesadaran bahwa membaca adalah kebutuhan, bukan kewajiban. Masyarakat yang gemar membaca adalah masyarakat yang terbiasa berpikir kritis, toleran, dan terbuka terhadap perbedaan.
Di masa depan yang semakin kompleks, hanya bangsa yang berpengetahuan yang bisa bertahan dan berkembang. Buku adalah bekal utama dalam perjalanan itu.
Merayakan Hari Buku bukan berarti memborong buku lalu membiarkannya berdebu. Merayakan Hari Buku berarti merawatnya, membacanya, membagikannya, dan menulis ulang peradaban dengannya.
Dengan membaca, kita tidak hanya mengenal dunia, tetapi juga mengenal diri sendiri. Maka mari kita buka kembali buku-buku yang telah lama tertutup. Sebab di sanalah peradaban menyimpan harapan. (*)