Oleh Hj. Ainia Shalichah Arief Rohman
(Bunda Literasi Kabupaten Blora)
HATIPENA.COM – Tulisan ini merupakan materi yang saya sampaikan dalam acara Bimbingan Teknis (Bimtek) Literasi Informasi yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Blora pada hari Rabu (4/6) baru-baru ini. Bimtek ini menjadi ruang dialog yang penting, di mana kita bersama-sama menyadari bahwa literasi informasi bukan hanya tentang kemampuan membaca dan mencari data, tetapi tentang bagaimana kita menyaring kebenaran dan memaknai pengetahuan di tengah arus informasi digital yang melimpah.

Di era sekarang, manusia dituntut tak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pengelola informasi yang cakap dan bertanggung jawab. Literasi informasi menjadi bekal utama dalam menghadapi kompleksitas zaman yang terus bergerak cepat. Ia bukan sekadar keterampilan tambahan, melainkan fondasi kokoh untuk membangun kecerdasan kolektif masyarakat.
Literasi informasi tidak cukup dipahami sebagai kemampuan mencari data semata. Lebih dalam dari itu, ia adalah kesadaran kritis untuk mengenali kapan informasi dibutuhkan, bagaimana cara mendapatkannya, dan sejauh mana informasi itu dapat dipertanggungjawabkan. UNESCO bahkan menekankan hubungan erat antara literasi informasi dengan semangat belajar sepanjang hayat. Sebab, setiap langkah pembelajaran dimulai dari gerbang informasi yang terbuka lebar.
Kemampuan mengevaluasi dan menggunakan informasi secara etis menjadi penting dalam era ketika hoaks dan bias informasi menyebar lebih cepat dari kebenaran. Pemustaka, sebagai pencari informasi aktif, harus dibekali keterampilan ini agar tidak tersesat di tengah lautan data yang tak bertepi. Literasi informasi adalah tameng sekaligus kompas—penjaga nalar dan penunjuk arah menuju kebenaran.
Perpustakaan memegang peran vital dalam ekosistem literasi informasi. Ia bukan lagi sekadar ruang hening penuh rak buku, melainkan pusat pengetahuan aktif yang mendorong transformasi digital dan sosial. Melalui program pelatihan, penyediaan akses informasi terpercaya, serta fasilitasi komunitas literasi, perpustakaan menjadi garda depan pemberdayaan masyarakat berbasis informasi.
Generasi muda, khususnya Generasi Z, adalah kelompok yang paling rentan dan sekaligus paling berpotensi dalam medan informasi digital. Mereka tumbuh bersama teknologi, namun tak semua dibekali kemampuan untuk memilah informasi yang valid. Tanpa literasi informasi, generasi ini mudah terjebak dalam narasi manipulatif atau menjadi korban propaganda digital. Maka, literasi informasi harus ditanamkan sejak dini sebagai bagian dari pendidikan karakter dan kewargaan.
Dalam praktiknya, literasi informasi mencakup berbagai tahap: menyadari kebutuhan informasi, mengembangkan strategi pencarian yang efektif, mengevaluasi sumber secara kritis, serta menggunakan dan mengomunikasikan informasi dengan bertanggung jawab. Ini adalah proses sistematis yang, jika dibiasakan, akan membentuk individu yang tangguh secara intelektual dan etis.
Lebih jauh, literasi informasi memberi dampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ia mendukung pengambilan keputusan yang tepat, memperkuat kemampuan belajar mandiri, dan mempersiapkan seseorang untuk menghadapi tantangan dunia kerja. Dalam masyarakat demokratis, literasi informasi memungkinkan warga terlibat aktif dalam diskusi publik, memahami isu-isu penting, dan membentuk opini yang berdasarkan data.
Dalam konteks global yang dipenuhi disrupsi dan ketidakpastian, literasi informasi adalah kunci ketahanan masyarakat. Bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk tumbuh dan bersaing secara sehat di panggung dunia. Maka, upaya meningkatkan literasi informasi bukanlah pilihan, melainkan keharusan yang bersifat transformatif.
Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil harus bersinergi dalam membangun budaya informasi yang sehat. Kampanye kesadaran literasi informasi, integrasi kurikulum berbasis pemikiran kritis, serta penguatan perpustakaan sebagai pusat pembelajaran terbuka harus menjadi prioritas bersama.
Kita sedang memasuki zaman ketika nilai manusia tidak lagi diukur dari seberapa banyak informasi yang ia miliki, melainkan seberapa bijak ia mengelola informasi tersebut. Literasi informasi bukan hanya soal tahu, tapi soal mampu memilih, memilah, dan memanfaatkan pengetahuan untuk kehidupan yang lebih baik.
Dalam dunia yang terus berubah, literasi informasi menjelma menjadi pelita yang menuntun masyarakat dari kebingungan menuju kebijaksanaan. Ia bukan hanya kebutuhan pribadi, tapi juga tanggung jawab sosial untuk menciptakan peradaban yang adil, cerdas, dan berkeadaban. (*)