Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Aksi Penyelamatan

March 22, 2025 13:09
IMG-20250322-WA0069

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Cerbung “Cinta Tertinggal” (20)

HATIPENA.COM – Di ruang bawah tanah yang remang, tubuh Putra Hasyim tergeletak tak berdaya di lantai dingin. Wajahnya penuh luka lebam, napasnya tersengal. Nohran dan Roja hanya bisa menatap dengan ngeri ketika dua agen Lazarus mendorong tubuhnya dengan kasar ke arah mereka.

Dari balik bayangan, Park Jin Hyok berjalan mendekat dengan tatapan tajam. Ia mengenakan sarung tangan hitam, matanya dingin tanpa emosi. Ia berjongkok di depan Roja, mencengkeram dagu pria itu dengan kasar.

“Kau tahu kenapa kau masih hidup?” suaranya rendah, tetapi mengancam. “Karena aku ingin jawaban darimu.”

Roja menatapnya dengan penuh kebencian, tak berkata sepatah pun.

Park Jin Hyok mengangguk ke salah satu anak buahnya. Agen itu maju, mengangkat pipa baja dan menghantamnya ke perut Roja.

“Ugh!” Roja terbatuk, darah menyembur dari bibirnya.

Nohran tersentak. “Hentikan!”

“Tidak sebelum dia berbicara.” Park Jin Hyok menyeringai. “Jadi, aku tanya sekali lagi, di mana chip itu?”

Roja mendongak, meski kesakitan, ia tersenyum sinis. “Cari sendiri.”

Park Jin Hyok menghela napas, lalu dengan gerakan cepat, ia meraih pistol dari sarungnya dan menodongkan langsung ke kepala Nohran.

“Baiklah. Kalau begitu, aku beri kau pilihan,” katanya dingin. “Sebutkan lokasinya, atau aku hitung sampai tiga, dan kepalanya akan berlubang.”

Nohran menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat Roja, yang meskipun kesakitan, tetap diam.

“Satu…”

Roja mengepalkan tangan.

“Dua…”

Nohran memejamkan mata.

Doorr!!

Bukan suara pistol, melainkan suara bola voli yang melesat dengan kecepatan tinggi, menghantam tangan Park Jin Hyok dengan keras. Pistol itu terlempar ke udara.

“Apa?!” Park Jin Hyok tersentak.

Dari balik kegelapan, Mega berdiri dengan penuh percaya diri, satu kaki masih dalam posisi follow-through setelah melakukan smash voli yang dahsyat.

“Maaf mengganggu rapatmu,” kata Mega sambil tersenyum sinis.

Di belakangnya, Dabin, Lee Yedam, Yeom Hye Seon, Jung Hungyoung, Pyo Seungju, dan Park Hye Min berdiri siap tempur.

Park Jin Hyok menggeram marah. “Tangkap mereka!!”

Sepuluh agen Lazarus segera menyerbu. Perkelahian sengit pun terjadi. Mega menghindari pukulan dan menendang lawannya dengan lompatan gesit. Sementara Dabin menggunakan kecepatan refleksnya untuk menghindari serangan. Lee Yedam menghantam lawannya dengan smash voli yang mengenai wajah, membuat agen itu terhuyung.

Namun, keahlian beladiri mereka jauh dibandingkan para agen itu. Mega terdesak. Pukulan keras mengenai perutnya, membuatnya tersungkur ke lantai. Lee Yedam berusaha membantu, tapi tangannya ditarik ke belakang, diseret dengan kasar. Darah mengalir dari bibir Dabin yang terkena pukulan telak. Begitu juga yang lain, semua terkapar, mulut berdarah. Mega dkk dibuat tak berdaya.

Park Jin Hyok meraih pistolnya kembali, mengarahkannya lagi ke Nohran. “Kalian sudah kalah,” katanya penuh kemenangan.

Brakkkkk!!!

Pintu besi ruang bawah tanah mendadak terbanting terbuka.

“Turunkan senjata kalian!” suara perintah menggema.

Agen NIS, kepolisian Daejeon, dan pasukan BIN menyerbu masuk dengan senjata lengkap.

Para agen Lazarus kaget.

Park Jin Hyok mencoba menembak, tetapi sebelum sempat menarik pelatuk, tembakan sniper dari kejauhan menghantam pistolnya, membuatnya terlempar dari genggamannya.

Dalam hitungan detik, agen-agen Lazarus dilumpuhkan.

Mega dan timnya terengah-engah. Nohran, Roja, dan Putra Hasyim segera dievakuasi.

Di luar, ambulans dan kendaraan polisi sudah berjajar. Roja, yang masih berlumuran darah, ditopang oleh Mega dan Nohran saat mereka berjalan keluar dari bangunan tua itu.

Saat sirene berbunyi, Mega menatap sekeliling. Misi mereka berhasil.

Namun, ia tahu… ini belum berakhir. (bersambung)

#camanewak