Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Cahaya di Langit Qatar

January 15, 2025 08:03
IMG-20250115-WA0034

Cerita Bersambung Pipiet Senja

Dua: Rumah Luka

SEJAK itu Saribanon mewanti-wanti kepada kedua anaknya.

“Jangan pernah mengadukan apa pun lagi kepada mereka, ya Nak.”

“Tapi, Mama, ini sudah keterlaluan,” protes Jay.

“Iya, ini lihatlah, kaki Mama sampai pincang-pincang.” Lia terisak-isak sambil mengusap-usap kaki sang ibu dengan tatapan iba dan tak berdaya.

“Sudahlah, anak-anak….”

Saat itu Saribanon mengutuk ketakberdayaannya. Betapa ingin ia mengatakan kepada mereka, anak-anak tak berdosa ini. Bahwa bukan pembelaan yang diperoleh, sebaliknya malah menambah luka hati belaka.

Kelakuan kepala keluarga dengan tanda kutip itu tentu saja sangat berimbas dalam kehidupan istri dan anak. Saribanon tak boleh ikut bergaul dengan masyarakat sekitarnya.

Untuk mengaji saja harus minta izin berkali-kali. Manakala diizinkan juga dengan terpaksa, sepulang mengaji Saribanon akan habis diinterogasi. Kemudian dituduhnya macam-macam.

“Kamu bukan untuk mengaji, tapi cari lelaki!”

“Kamu pasti selingkuh dengan siapa itu, orang yang dipanggil Kyai itu, bah!

“Coba bilang, berapa kali kamu begituan dengan lelaki jahanam itu?”

“Maksudmu ini apa?”

“Alaaaah, bilang sajalah. Jangan munafik terus!”

Jika Saribanon tetap tidak mengaku, maka tanpa ayal lagi lelaki itu akan menghajarnya. Alhasil jika orang pergi mengaji untuk mendapatkan ketenangan, pulangnya membawa ilmu agama. Sebaliknya yang terjadi terhadap dirinya.

Saribanon memang mendapatkan ilmu agama dari kajian itu. Namun, sesampai di rumah dirinya akan mendapatkan selain cercaan hinaan, makian, ditambah bonus spesial: bibir jontor, wajah biru lebam, masih mujur kalau tidak ada retak atau luka di bagian tubuh lainnya.

Untuk menyiasatinya Saribanon terpaksa sembunyi-sembunyi pergi mengaji.

Satu kali ia meminta teman mengaji mengantarnya pulang.

“Ada apa denganmu, Dek?” tanya Mbak Diah.

“Tidak apa-apa, aku hanya minta tolong. Bilang kepada bapaknya anak-anak, kita baru pulang dari rumahmu. Urusan apalah, pokoknya jangan bilang habis mengaji.”

“Aku tidak paham dengan pikiranmu, tapi akan kucoba,” sanggup Mbak Diah.

Ketika sudah berhadapan dengan lelaki itu di teras rumah. Melihat keangkuhan yang menggurat jelas di wajahnya, jantung Saribanon seketika berdegup kencang. Bibirnya mencoba menyatakan; “Ini temanku….”

“Oya, tentu saja teman kau sesama perempuan tak beres!” sergahnya dengan suara khasnya.

“Maaf, Pak, kami hanya….”

“Aku tak butuh penjelasan kau! Kalau sudah tak ada urusan lagi, silakan pergi dari sini!” tukasnya tanpa tedeng aling-aling.

Begitu sosok Mbak Diah berlalu, beberapa langkah saja dari teras mereka, lelaki itu menarik lengannya kuat-kuat.

“Masuk!”

Bak-buk-bak-buuuuk!

Beberapa hari kemudian, ketika ia jumpa kembali dengan Mbak Diah di kantor redaksi sebuah majalah.

“Apa yang terjadi sebenarnya, Dek?” selidik Mbak Diah.

Saribanon menggeleng, menyembunyikan biru legam di pelipis dan pipinya.

“Aku mengerti. Ini KDRT, iya kan?”
“Sudahlah, Mbak Diah…. Maaf, aku masih banyak urusan. Tolong, kalau Mbak Diah mau bantu, honornya segera dikeluarkan ya, pliiiis….”

Saribanon keluar dari ruangan nyaman itu dengan perasaan tak karuan. Mbak Diah sudah bisa menebak apa yang terjadi dalam rumah tangganya.

Bagaimana ia harus bersikap jika bertemu kembali di hari-hari mendatang?

Mbak Diah menyarankan agar ia tidak hanya berdiam diri diperlakukan semena-mena oleh suami.

“Apa yang kamu takutkan, Dek? Kamu perempuan mandiri, bisa cari nafkah sendiri. Kamu masih muda, namamu populer, karyamu mbludak….”

“Sudahlah, Mbak Diah,” elaknya menghindar seperti biasa.
“Dek, tolong, bangkitlah, setidaknya demi anak-anakmu!”

“Mereka tidak apa-apa, Mbak, baik-baik saja….”

Saribanon terdiam, memilih menyingkir jauh-jauh dari sahabat dekat yang baik hati itu. Mbak Diah sudah sering membantunya, mengeluarkan honor cerpen atau cerita bersambungnya sebelum waktunya.

Saribanon tak bisa mengatakan semua yang berkecamuk dalam dadanya. Ia selalu merasa bersalah atas seluruh kejadian yang menimpa hidupnya, dirinya, anak-anaknya. Bahkan lelaki itu!

Ya, ia sering menyalahkan dirinya sendiri. Lelaki itu memperlakukan dirinya sedemikian hina, sedemikian keji, niscaya disebabkan kesalahannya.

Bangkitlah, Saribanon!
Sesungguhnya suara itu terus terngiang-ngiang di telinganya, memburu hari-harinya dan setiap detik yang dimilikinya.

“Lihatlah, anak-anakmu!” teriak suara itu pula.

Lia kerap mengerang dalam tidurnya, seketika terbangun dengan tubuh gemetar dan menggigil hebat.

Anak perempuan malang itu baru tenang jika ibunya telah mendekapnya erat-erat, membisikkan Ayat Kursi berkali-kali, meyakinkannya di telinganya. Bahwa semua akan baik-baik saja.

“Pssst, pessst, tenanglah, tidurlah, Nak. Semuanya akan baik-baik saja, ya Nak, akan baik-baik saja….”

“Baik-baik, ya Mama?” sepasang mata bening mencari-cari kebenaran di mata ibunya.

“Insya Allah, Nak, insya Allah….”

“Gak akan terjadi beginian lagi, ya Ma?”

“Hmmm….”

“Iya, sudahlah, semoga ya Mama, semoga,” tukas Lia manakala lama ibunya tak bisa menyahut.

Dengan rasa iba tangannya yang mungil akan meraih pipi-pipi ibunya yang biru lebam.

“Sembuh, ya Mama, sembuuuuuh, huuuufffff!”

Duhai, anak sekecil itu harus menyaksikan kekerasan tiap saat. Saribanon tak bisa menjamin semua ini takkan membekaskan luka jiwa, luka hati pada putrinya.

Saat itu, entah mengapa, ia sendiri tak bisa membela dirinya. Tak terpikir pula untuk sekadar melaksanakan saran sahabatnya, agar mereka pergi ke KPAI.

Semua pikiran yang seharusnya adalah solusi itu, tahu-tahu raib seketika dari benaknya begitu melihat sosok lelaki itu!Ketakutan yang sangat mencengkeram jiwa dan raga!

Jay tak pernah bisa dekat dan menghormati bapaknya. Acapkali Jay akan membalas perlakuan keji itu dengan caranya sendiri. Ia akan membuang baju kesayangan bapaknya dan berlagak tak tahu menahu, jika ditanyai perihal kehilangan baju.

Ajaibnya, Jay dan Lia tumbuh menjadi anak yang berprestasi. Mereka menjawab tantangan sang ibu.

“Buktikan kepada dunia bahwa kalian hebat. Jadilah anak-anak Mama yang bisa diandalkan.”

Betapa Saribanon akan bersujud syukur setiap kali menerima raport anak-anak, dari tahun ke tahun keduanya selalu memberinya satu hal: kebanggaan!

Penganiayaan itu baru berhenti lima tahun yang silam, ketika terakhir si sulung melakukan pembelaan, balik melemparkan badan bapaknya ke dinding ruang tamu mereka.

Saribanon takkan pernah lupa setiap rinci peristiwa hari itu. Ia bersama anak-anak sedang santai di kamar Jay, menikmati berbagai penganan yang dimasaknya sendiri.

Mereka bertiga tidak pernah memanfaatkan ruang keluarga. Apalagi ruang tamu, jika sedang ada kepala keluarga yang sakit itu.

Beberapa kali telah terjadi insiden, tepatnya serangan mendadak, lontaran kata-kata menyakitkan atau hal tak nyaman lainnya. Mereka bertiga sama trauma, jadi memutuskan jika berada di dekat lelaki itu, sebaiknya bungkam seribu bahasa.

“Kalian ini memang orang-orang yang sangat kejam, ya!”

Tiba-tiba sang kepala keluarga berjuluk suami itu muncul di ambang pintu kamar Jay.

Di tangannya ada sepiring pisang goreng bertabur keju yang dibuat sendiri oleh Saribanon. Penganan yang sama persis seperti yang sedang mereka nikmati petang itu.

Saribanon, Jay dan Lia terdiam dan saling pandang. Mata mereka sama menyiratkan ketidakpahaman.

“Apa maksud omongan Papa?” akhirnya Jay melontar tanya.

“Kalian ini memang keluarga yang sangat jahat! Kalian semua akan dikutuk Tuhan, kelak dimasukkan ke neraka jahanam!” sergahnya.

Tiba-tiba lelaki itu melemparkan piring pisang gorengnya, jelas sekali diarahkan ke bagian kepala Saribanon.

“Jangaaaan!” jerit Lia secara spontan menarik badan ibunya hingga piring itu meleset dan membentur tembok.
Braaaak!

Belum hilang rasa terkejut mereka, lelaki itu sudah menyambar dobelstik, alat yang biasa dipakai olah raga, melatih keprigelan tangan oleh Jay.

Kali ini alat itu diputar-putar dan akan dihantamkan pula ke kepala Saribanon. Giliran Jay yang bergerak menjadi benteng untuk ibunya. Maka, tak pelak lagi pukulan dobelstik itu menghajar punggungnya.

Buuuuk, buuuk!

“Memang tidak bisa dibiarkan,” dengus Jay tiba-tiba menangkis hantaman berikutnya yang nyaris mengenai wajahnya.

Ia menangkap tangan kekar itu, membalikkannya dengan sigap kuat-kuat, sehingga terdengar bunyi; kreeekkk!

“Anak durhaka, anak jahat, anak….”
Sumpah-serapah menggaung memenuhi ruangan itu.

Namun, sekali ini dan untuk terakhir kalinya, Jay memang melawannya. Saribanon merasa ngeri sekali. Ia baru menyadari anaknya, bocahnya yang dulu sering ikut kena hajaran itu, kini telah menjadi seorang lelaki dewasa.

Tentu saja, Jay memang telah dewasa, sebentar lagi lulus mengantongi ijazah pasca sarjana. Menikah dan pastinya akan meninggalkan rumah ini. Tempat yang baginya hanya membekaskan trauma masa kecil; kekerasan dalam rumah tangga orang tuanya.

Saribanon memang sudah tahu bahwa putranya telah meraih sabuk hitam, seorang guru-sabam-di pelatihan taekwondonya. Namun, ia tetap terkejut sekali menyaksikan sendiri ketangguhan Jay.
(Bersambung)