Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Cerbung “Cinta Tertinggal” (18)
HATIPENA.COM – Malam itu di Pontianak, suasana rumah Mak Leha hening. Baru beberapa jam yang lalu ia tiba setelah penerbangan panjang dari Korea Selatan. Sepulangnya dari bandara, ia hanya sempat makan malam seadanya, lalu beristirahat. Namun, ada sesuatu yang mengganggu hatinya.
Saat ia hendak ke dapur untuk mengambil segelas air, tangannya terasa gemetar tanpa sebab. Gelas yang baru saja ia genggam tiba-tiba terlepas dari tangannya.
Praang!
Gelas itu pecah berderai di lantai. Mak Leha terlonjak kaget.
“Astaghfirullahalazim… ada apa ini?” gumamnya, jantungnya berdegup kencang. Firasat buruk merayap ke dalam benaknya. Seolah ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang terjadi jauh di tempat lain, di mana seseorang yang ia sayangi sedang dalam bahaya.
Pikirannya langsung melayang ke Roja.
Sejak ia mengenal Roja, anak itu memang berbeda. Bukan darah dagingnya, tapi kasih sayangnya tak pernah kurang. Sejak Roja kecil, ia sudah bisa melihat bahwa anak itu memiliki kecerdasan luar biasa. Roja jarang berbicara, lebih sering mengamati dan berpikir. Kadang Mak Leha khawatir, bagaimana Roja akan menghadapi dunia dengan sifatnya yang pendiam itu. Tapi Roja selalu menunjukkan bahwa ia bisa diandalkan. Ia tidak suka membantah, patuh pada nasihat, dan yang paling penting, ia tidak pernah membuat Mak Leha merasa terbebani.
Mak Leha mengingat pertama kali Roja masuk ke dalam hidupnya. Roja bukanlah bayi yang lahir dari rahimnya, tapi ia tetap anak yang ia besarkan dengan penuh cinta. Waktu itu, seorang ibu tak dikenal meletak bayi di depan rumahnya. Mak Leha memungut lalu membesarkannya penuh kasih sayang. Kebetulan Mak Leha hidup sebatang kara. Bertahan hidup dengan mengurut orang.
“Jaga dia baik-baik, Leha. Anak ini istimewa,” kata pesan dalam secarik kertas yang diselipkan ada baju Roja bayi.
Benar saja, Roja tumbuh menjadi anak yang luar biasa. Sejak kecil, ia selalu menonjol di sekolah, memenangkan berbagai perlombaan, tapi ia tidak pernah bermegah diri. Seringkali, ketika anak-anak lain bermain, Roja lebih suka duduk diam di sudut, membaca buku atau mengamati sesuatu yang menarik perhatiannya. Salah satu kegemarannya, bermain komputer. Mak Leha memberikannya laptop. Dengan laptop itulah, Roja menghabiskan waktunya di kamar. Dia mau keluar bila ada jadwal latihan silat Tapak Suci yang tidak jauh dari rumahnya.
“Roja, kenapa tak ikut bermain?” tanya Mak Leha suatu hari.
Roja hanya tersenyum kecil. “Aku lebih suka mengamati, Mak.”
Mak Leha hanya bisa menghela napas, tapi ia tidak pernah memaksakan sesuatu kepada Roja. Ia hanya ingin Roja tumbuh menjadi orang yang bahagia, apa pun pilihannya.
Saat Roja menginjak usia remaja, kecerdasannya semakin terlihat. Ia bisa mempelajari sesuatu dengan cepat, bahkan lebih cepat dari anak-anak lain seusianya. Namun, sifat pendiamnya tetap melekat. Roja tidak banyak bicara, tetapi jika sudah berbicara, kata-katanya selalu penuh makna.
Namun, ada satu hal yang membuat Mak Leha selalu gelisah. Roja seperti menyimpan sesuatu dalam dirinya. Ada beban yang dipikulnya, tapi ia tidak pernah mengeluh. Hingga suatu hari, Roja mengutarakan niatnya untuk pergi ke Jakarta, bertemu dengan kawannya. Roja tak berterus terang. Padahal, sebenarnya ia ke Jakarta ngurus visa untuk pergi ke Korea.
“Mak percaya sama kamu, Nak. Kamu sudah besar, kamu tahu mana yang baik dan buruk. Tapi ingat, jangan pernah menyusahkan diri sendiri,” pesan Mak Leha saat itu.
Roja tersenyum tipis. “Mak, aku akan baik-baik saja. Aku janji.”
Tapi malam ini, firasat Mak Leha berkata sebaliknya.
Ia menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya. Pesan dari Roja ada di sana. Roja mengatakan bahwa ia sedang ke Jakarta, tak perlu dikhawatirkan. Namun, entah mengapa, hati Mak Leha tak bisa tenang. Roja bukan anak yang suka berbohong, tapi ada sesuatu yang terasa janggal dalam pesannya. Seperti ada sesuatu yang ingin Roja sembunyikan.
Ia mencoba menelepon, tapi panggilannya hanya masuk ke pesan suara. Tak ada jawaban.
Mak Leha duduk di kursi ruang tamu, menatap kosong ke lantai. Di luar, angin berhembus pelan, menambah kesunyian malam. Di dalam hatinya, ia berdoa agar Roja baik-baik saja.
Namun, jauh di tempat lain, di negeri yang jauh dari Pontianak, Roja dan Nohran sedang berjuang antara hidup dan mati. Mereka sedang disekap kelompok Lazarus. (bersambung)
NB. Jika baru membaca cerbung ini, disarankan membaca juga part 1-17, ada di playlist
#camanewak