Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Inilah Rumah Cinta Kita

February 2, 2025 11:36
IMG-20250131-WA0078(1)

Pipiet Senja

Episode 4

HATIPENA.COM – “Kupikir, semua perempuan seharusnya demikian. Aku pun terlambat bisa merefleksikan keharusan ini,” gumam Saribanon lebih ditujukan kepada dirinya sendiri.

“Bagaimana perasaanmu sekarang, kakak sayang?”

“Hmm, aku merasa telah melawan kezaliman. Meskipun hanya di dalam angan, di dalam mimpi dan ketaksadaranku. Aku berperang dalam mimpi, hehehe. Lucu, ya!”

Saribanon seraya berdiri di balik tirai jendela ruang kerjanya.

“Terima kasih, ya Allah. Di sinilah hamba-Mu kini berada, dan inilah rumah cinta kita, saudari-saudariku sesama lansia,” lirihnya sesayup angin di rembang petang yang sejuk itu.

“Ini bermakna….”
“Sudah saatnya kita tidak hanya memikirkan kepentingan sendiri. Harus bermafaat untuk banyak orang.”

Dilayangkannya tatapannya ke atas cakrawala. Sejauh mata memandang langit bersepuh keemasan. Tak ada mendung, tiada warna kelabu secercah pun, tidak ada.

Rumah Bunda Hadijah, demikian akhirnya bangunan hibahan itu dinamakan. Lokasinya di kawasan Puncak, sebuah kampung bernama Cijulang di atas lahan satu hektar. Luas bangunan tiga ratus meter berlantai tiga.

“Lantai satu dipakai hunian perempuan lansia. Ada tiga lansia usia 60-an, dua 70 dan lima 50-an,” jelas Saribanon kepada Dewi.

Sahabat pebisnis berhati mulia yang telah menghibahkan tanah, menggelontorkan sebagian besar dana pembangunan gedung Rumah Bunda Hadijah.

Ini pertama kalinya Dewi singgah, sejak secara resmi menyerahkan kepemilikan Rumah Bunda Hadijah enam bulan yang silam di London.

Dewi bermukim di London, bersama suami mualaf warganegara Inggris dengan dua buah hati mereka yang masih kecil-kecil.

Enam bulan silam, Saribanon diundang ke London oleh keluarga besar suami Dewi. Saat itulah ada sesi serah terima bangunan yang awalnya sebuah bungalow, tempat peristirahatan mereka jika berlibur ke Indonesia.

“Waaah, ini ada pelatihan-pelatihan apa saja?” tanya Dewi begitu mereka sampai d lantai dua.

“Seperti yang sudah kujelaskan kepadamu,” jelas Saribanon.

”Kita menampung juga sepuluh mantan TKI. Mereka punya masalah di penempatan kerjanya. Ketika pulang mereka tak tahu mau ke mana….”

“Maksudnya bagaimana, Tante?” Dewi tak paham.

“Keluarga tak mau menerima kehadirannya. Rumah yang pernah dibangun dengan susah payah, menjadi babu di luar negeri.”

“Mengapa bisa begitu?”

“Mereka pernah berbuat salah, hubungan cinta sejenis, cinta terlarang dan sebagainya.”

“Astaghfirullahal adzhiiim…..”

“Mereka sudah taubatan nasuha. Kita harus merangkul mereka yang berniat kembali ke jalan yang benar. Bukankah begitu, Neng Dewi?”

“Tentu saja harus demikian. Duh, aku mendadak ingat satu adikku korban gembong mafia narkoba. Kami tak sempat menolongnya,” gumamnya mengambang.

Saribanon sudah mendengar kisah Nindya, adik bungsu Dewi. Nindya supermodel yang lama hidup di Eropa. Orang tua mereka sepasang Diplomat yang mengalami musibah, pesawat mereka hilang tak tentu rimbanya.

Sejak kehilangan orangtua, tiga anaknya lebih memilih tinggal di luar negeri. Ada beberapa rumah milik orangtuanya di Tanah Air. Semuanya dihibahkan untuk badan sosial.

Dewi adalah penggemar berat karya Saribanon Ayuninngtyas. Tanpa sengaja ia berkenalan dengan Rosi di perjalanan.

Melalui Rosi akhirnya Dewi bisa berjumpa dengan penulis idolanya. Ia pun menghibahkan bungalow milik keluarga besar atas namanya kepada Saribanon.

“Ini kelas memasak, silakan masuk,” ajak Saribanon.

“Oh, iya, iya, terima kasih,” sambut Dewi agak gelagapan, sebagian lamunannya pun buyar seketika.

“Selamat siaaaaang!” sambut sejumlah perempuan yang sedang asyik belajar membuat roti di kelas memasak.

“Siaaang…. Rotinya sudah matangkah?” sapa Saribanon.

“Sudah satu loyang, Bunda,” sahut Anjani, mentor kelas memasak.

Dewi tercengang-cengang. Kagum dengan keprigelan para perempuan itu.

“Wah, kalian lebih pintar daripada orang bule para pemakan roti,” candanya disambut teriakan sukacita selusin peserta kelas memasak.

“Kami juga jadi pemakan roti kok, Mbak Dewi,” ujar Anjani.

“Bukannya pemakan bule nih?” cetus temannya bernama Ida.

“Huuuusss! Buka rahasia saja!”
“Hahahaha!”

Kelas memasak seketika dipenuhi canda dan tawa.

“Nanti dikemanakan roti-rotinya ini, Mbak?” tanya Dewi lagi.

“Kami jual, Mbak Dewi,” jawab Anjani. “Sudah sampai mana saja pasarannya?”

“Baru sekitar Puncak sini sajalah, Mbak Dewi.”

“Sebanyak apa produksi hariannya?” telisik Dewi.

“Terakhir kemarin itu 500….”

“Bisa ditingkatkan?”

“Bisa saja, masalahnya bagaimana memasarkannya….”

“Oh, tenang saja. Nanti akan ada staf marketing kami datang ke sini, ya Bunda Saribanon. Kita akan bantu memasarkannya ke supermarket-supermarket dan hotel-hotel di Jabotabek,” ujarnya terdengar serius sekali.

“Seriuuuuuus?” seru peserta kelas memasak, antusias dan semangat sekali.

“Lebih dari serius!” tegas Dewi sambil mencicipi roti yang baru diangkat dari oven.

“Tempat pembuatannya ada di bangunan sebelah, Neng Dewi,” kata Saribanon.

”Baru punya selusin pegawai, semua warga sekitar sini saja. Para janda miskin dan korban KDRT….”

Usai mendampingi Dewi hingga diantar ke mobilnya, Saribanon bergegas mengajak staf inti untuk rapat. Rapat mereka tak pernah berlarat-larat. Ia memiliki barisan ikhlas berjuang demi kemashlahatan, begitu mereka menyebutnya.

Ia telah memercayakan segala sesuatu, teknis pelaksanaan bisnis yang mendukung perkembangan Rumah Bunda Hadijah kepada mereka.

“Dengan ini rapat ditutup, alhamdulillah…. Semoga Allah Swt memberkahi perjuangan kita.”

“Amiiiin amin ya Robbal alamin….” Mereka, staf inti sepuluh orang mengaminkan doanya.

Malam itu ia harus terbang ke Lombok, memenuhi undangan workshop kepenulisan, dari komunitas literasi di Lombok Barat.

Haz telah siap mengantarnya ke Bandara Halim.
Namun, ia merasa perlu membahas sesuatu dengan Rosi.

”Sebentar, ya Haz, ada penting dulu dengan adikku,” katanya.

“Silakan, Bunda, nyantey sajalah. Masih banyak waktu,” sahut anak muda asli Madura itu.

“Rosi,” ujarnya kepada sang adik yang belum lama meresmikan pernikahan dengan Harji.

”Apakah suamimu sudah bisa diajak ke sini?”

“Insya Allah, mulai minggu depan kami sudah bisa berkumpul di sini,” janji Rosi.

”Tapi Dinah belum bisa menerima kehadirannya….”

“Sepertinya Dinah perlu kita ajak konsultasi. Dia masih trauma dengan lelaki paro baya.”

“Ya, sepertinya begitu,” kata Rosi.”Kira-kira ada kenalan psikolog keluarga, Teteh?”

“Oke, nanti Teteh carikan,” janji Saribanon sebelum mereka berpisah di pekarangan Rumah Bunda Hadijah.

Dalam perjalanan menuju Bandara Halim, Haz, pengemudi kendaraan inventaris mendadak menyerahkan ponselnya.

“Ini, Bun, lihatlah! Namamu menjadi trendingtopic di Twitterland,” katanya dalam nada gelisah.

“Aku tidak aktif di medsos sejak kejadian di Kantor Pengadilan itu,” gumam Saribanon.

”Sekarang apa yang mereka katakan tentang diriku, Nak?”

Ia malas-malasan menerima ponsel santri yang diambilnya dari pesantren di Madura itu. Haz sengaja menemuinya ketika mendengar Saribanon menjadi pembicara di pesantrennya.

Waktu itu Haz sungguh-sungguh meminta keikhlasannya, agar membawanya serta ke Jakarta.

Ia ingin mengembangkan potensi yang dimilikinya sebagai seorang penyair. Ibunya yang sudah tua tak pernah mengizinkannya merantau. Namun, ketika Saribanon yang meminta, sang ibu mengizinkan putra bungsunya ini pergi bersama perempuan sebayanya.

Sejak itulah Haz diamanahi sebagai Admin medsosnya. Baik website pribadi, website Rumah Bunda Hadijah maupun lainnya, termasuk Facebook,Twitter, Instagram dan Path atas nama Saribanon Ayuningtyas.

“Netizen bilang Bunda seniman tak punya hati. Karena sudah menjebloskan mantan suami dan istrinya….”

Ah, kalau itu kan memang sudah lama beredar. Jay dan Lia sudah mengkonfirmasikan hal ini. Bahwa bukan ibu mereka yang menjebloskan dua orang tersebut, melainkan Jay dan Lia.

“Biarkan sajalah, Haz,” komentarnya hambar. “Terus apalagi?”

“Dua novel Bunda akan difilmkan….”
“Iya, benar, lantas apa salahnya?”
“Penyandang dananya penganut Syiah….”

“Dewi Indisari penganut Syiah? Apa gak salah tuh? Haha, kacooow, ah!” gelak Saribanon.

“Saya percaya, Mbak Dewi bukan Syiah,” kata Haz setuju.

“Ketahuilah, Dewi berhasil mengislamkan suami dan keluarga besarnya di Inggris. Mereka tak kenal apa itu Syiah. Mereka bersyahadat dengan keyakinan, bahwa Islam satu-satunya agama pembawa kebenaran, rahmatan lil alamin….”

Sesak rasanya harus menjelaskan sosok muda yang telah begitu baik hati memberinya dukungan. Bukan hanya dukungan semangat, melainkan juga menggelontorkan dana dan bangunan demi mewujudkan obsesinya selama ini.

Bahkan Dewi telah berusaha menyambungkan kembali silaturahim yang sempat putus, antara dirinya dengan anaknya.
Bersambung