Resensi Buku
Resensi buku “Gerakan Syiah di Nusantara” karya Wahyu Iryana
Penerbit Lampung Membangun, 2024 | 372 halaman
Oleh: Mulyanah
Penulis Pegawai di Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat
HATIPENA.COM – Di tengah derasnya arus informasi dan debat seputar keislaman kontemporer, buku Gerakan Syiah di Nusantara hadir bukan sebagai pemantik provokasi, melainkan sebagai jendela reflektif atas perjalanan panjang satu dari sekian banyak aliran dalam Islam yang kerap menjadi kambing hitam konflik.
Penulisnya, Wahyu Iryana, bukanlah nama asing dalam dunia historiografi Islam Indonesia. Ia adalah seorang akademisi, sejarawan muda NU, dan penulis produktif yang sejak lama menekuni tema-tema sejarah lokal, pergerakan santri, dan pemikiran Islam di pinggiran.
Buku ini menyajikan lima bab besar yang mendokumentasikan dinamika gerakan Syiah, mulai dari asal-usulnya di Timur Tengah, masuknya ke Nusantara pada awal abad ke-20, transformasinya pasca Revolusi Iran 1979, hingga respons kelompok-kelompok Islam terhadapnya.
Wahyu menulis dengan gaya bertutur yang lincah, namun tetap berbasis data. Sejarah dan analisis berjalan beriringan, seperti dua alur sungai yang akhirnya menyatu dalam muara pemahaman.
Mengurai Asal-usul Syiah
Sejak awal, buku ini tidak tergesa-gesa men-judge, melainkan mengajak pembaca menyelami terlebih dahulu akar historis dan teologis gerakan Syiah. Wahyu menjelaskan bahwa istilah “Syiah” secara leksikal berarti “pengikut”, khususnya pengikut Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad.
Ia menegaskan bahwa imamah (kepemimpinan) dalam pandangan Syiah tidak sekadar urusan politik, tetapi bagian dari doktrin ketuhanan. Di sinilah perbedaan mencolok dengan Sunni mulai terlihat: jika Sunni menempatkan khalifah sebagai urusan umat, maka Syiah melihatnya sebagai urusan ilahi.
Namun yang menarik, Wahyu tidak berhenti pada aspek teologis. Ia justru menggali bagaimana gerakan Syiah, terutama dalam sejarahnya, lebih dulu muncul sebagai gerakan politik ketimbang mazhab fikih.
Ini membantah stereotipe umum bahwa perpecahan Sunni-Syiah hanya soal doktrin. Buku ini mengingatkan kita bahwa sejarah Islam bukan hanya tentang kitab dan ibadah, tapi juga tentang kekuasaan, pertarungan tafsir, dan legitimasi atas masa depan umat.
Jejak Syiah di Nusantara
Bab paling penting dalam buku ini mungkin adalah rekonstruksi sejarah masuknya Syiah ke Indonesia. Penulis membagi periode historis gerakan Syiah ke dalam tiga fase besar: pra-Revolusi Iran, pasca-Revolusi Iran, dan pasca-reformasi 2001.
Ini menjadi peta temporal yang penting karena menyoroti perubahan strategi, bentuk organisasi, dan wacana keagamaan.
Dalam fase awal, Wahyu melacak tokoh-tokoh lokal yang mulai memperkenalkan literatur Syiah, termasuk para alumni universitas di Timur Tengah. Tahun 1926 hingga 1979 menjadi masa benih-benih Syiah tumbuh perlahan di komunitas-komunitas kecil di Sumatera dan Jawa.
Namun, setelah Revolusi Iran meledak dan menjadikan Ayatollah Khomeini sebagai simbol kebangkitan Islam, Syiah mendapatkan momentum baru.
Menurut buku ini, gerakan Syiah pasca-1979 tidak hanya tampil sebagai varian keagamaan, melainkan juga sebagai gerakan sosial-politik.
Di beberapa titik, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, aktivitas dakwah Syiah dilakukan dengan cara yang relatif halus: melalui lembaga pendidikan, penerbitan buku, dan seminar ilmiah. Namun, Wahyu juga mencatat bahwa perkembangan ini memicu resistensi dari ormas-ormas keagamaan mainstream yang menganggapnya sebagai ancaman.
Membaca Realitas Sosial Politik
Salah satu keunggulan buku ini adalah keberaniannya membaca gerakan Syiah dalam kerangka lebih luas: bahwa identitas keagamaan tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu bersinggungan dengan kepentingan politik dan ketegangan sosial. Wahyu memotret respons ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, MUI, hingga FPI—terhadap keberadaan Syiah.
Ada yang menolak dengan keras, ada yang mencoba berdialog, namun tidak sedikit yang gamang.
Bahkan Wahyu menulis dengan gaya khas sejarawan sosial: ia tidak hanya mengutip dokumen formal, tapi juga memanfaatkan wawancara, berita lokal, dan narasi minoritas. Hal ini membuat buku ini lebih hidup dan terasa dekat.
Ia tidak sedang membela atau menyerang Syiah, tetapi menunjukkan bahwa dalam sejarah Indonesia, yang plural dan kompleks, tidak ada peta tunggal atas kebenaran.
Penulis yang Melekat pada Sejarah Pinggiran
Sosok Wahyu Iryana sendiri cukup menarik. Lahir di Jatibareng, dari keluarga petani, ia menunjukkan bahwa intelektualitas bukan monopoli elite. Perjalanan kariernya dimulai dari UIN Bandung hingga menjadi dosen tetap di UIN Raden Intan Lampung.
Ia dikenal sebagai penulis produktif yang menghidupkan sejarah dari desa, masjid, dan pesantren.
Karya-karya Wahyu sebelumnya, seperti Fenomena Petani (2012), Kidung Bumi Segandu (2013), hingga Roman Sejarah Momi Kyosyutu (2017), menunjukkan konsistensinya dalam menarasikan sejarah lokal dan minoritas.
Dalam buku ini, ia meneruskan tradisi itu: menulis tentang gerakan yang dianggap “lain” oleh arus utama, dengan empati, namun tetap kritis.
Kritik dan Kekayaan Narasi
Tentu, buku ini tidak lepas dari kekurangan. Beberapa bagian terasa terlalu padat dengan data, yang mungkin menyulitkan pembaca awam.
Selain itu, studi lapangan yang dilakukan masih bisa diperdalam, terutama di wilayah Indonesia bagian timur yang belum banyak disentuh. Namun, secara umum, buku ini berhasil menyuguhkan narasi yang utuh dan menggugah.
Yang membuat buku ini penting adalah keberaniannya menyentuh tema yang seringkali dihindari akademisi Indonesia karena alasan sensitif.
Tapi Wahyu justru menulis dengan kepala dingin, tanpa labelisasi, dan dengan semangat ilmiah. Di tengah wacana publik yang mudah terbakar oleh isu sektarian, buku ini hadir sebagai pendingin kepala dan pemantik dialog.
Penutup: Belajar dari Sejarah, Menatap Masa Depan
Di akhir buku, Wahyu seperti ingin mengatakan: Indonesia yang plural ini tidak bisa dibangun di atas prasangka dan saling tuduh. Justru sejarah menunjukkan bahwa keberagaman pemikiran Islam telah menjadi bagian dari mozaik kebudayaan kita.
Maka, memahami gerakan Syiah bukan berarti menjadi Syiah. Sama seperti memahami sejarah Komunis tidak menjadikan seseorang Komunis.
Buku ini layak dibaca siapa pun yang ingin memahami wajah Islam Indonesia secara lebih jujur dan komprehensif. Tidak untuk menuding, tapi untuk mengenali. Tidak untuk menyulut api, tapi menyalakan pelita.
Karena seperti kata pepatah lama, “Yang tidak mengenal sejarah, akan terus tersesat dalam labirin kebencian.”
Selamat penulis ucapkan atas lahirnya karya ini, semoga menambah khazanah pengetahuan dan keislaman di Nusantara bahkan Dunia, semoga menjadi buku best seller. (*)