Warsit MR
HATIPENA.COM – Babo dan Choco dua ekor kucing yang tumbuh dan berkembang di lingkungan yang berbeda. Babo hidup di lingkungan kota, sedangkan Choco hidup di desa. Babo sangat disayang tuannya, dielus, dimandikan, dikasih minum susu, dan makanan yang istimewa. Sehingga tumbuh menjadi kucing yang sehat, lucu, dan menggemaskan.
Berbeda dengan Choco, ia jarang dimandikan dan jarang disayang oleh tuannya. Bahkan makannya pun hanya seadanya. Kadang dikasih nasi gereh, kadang dikasih tulang sisa makan tuannya. Meski demikian Choco merasa senang karena di luar sana masih banyak teman-temannya yang berkeliaran mencari makan sendiri.
Pada hari raya idul fitri kemarin, Babo diajak pulang kampung tuannya untuk mengunjungi saudaranya. Sampai di desa, Babo diperkenalkan dengan Choco. Awalnya Choco sempat berontak untuk menyerang Babo. Bagi Choco, Babo dianggap warga baru yang dikhawatirkan akan bisa membahayakan dirinya. Sebaliknya Babo juga sempat akan menerkam karena merasa lebih kuat dan gagah bila dibandingkan dengan Choco.
Tuannya Babo menganggap kejadian itu sebagai hal yang biasa. “Sudah menjadi naluri kebanyakan binatang bila awal bertemu berlagak seperti musuh. Tetapi kalau sudah sering bertemu akan berubah menjadi rukun layaknya kawan,” ujar tuannya sambil menahan Babo.
“Begitu ya, Mas?” kata tuannya Choco.
Tuannya Babo dan tuannya Choco masing-masing mengelus kucing peliharaannya, sambil saling memperkenalkan satu dengan yang lain. Masih dalam pangkuan tuannya, mulut kedua kucing itu didekatkan hingga keduanya bisa saling mengendus.
Dalam waktu beberapa hari, Babo dan Choco masing-masing dimasukkan ke dalam kandang, namun tempatnya ditaruh berdekatan. Setelah keduanya saling kenal, dan sudah tampak akur, Choco dilepaskan dari kandang. Apa yang terjadi? Choco sering duduk mendekati Babo, dan Babo pun tampak merespons dengan baik tanpa menunjukkan tanda-tanda perlawanan. “Itu tandanya mereka sudah saling mengenal,” komentar tuannya Babo.
Hari-hari berikutnya Babo dan Choco dilepas bersamaan di dalam rumah. Mereka tampak akur, berlarian dan bermain bersama, bahkan keduanya sudah mengerti nama panggilan masing-masing. Namun mereka tetap dalam pengawasan tuannya.
Suatu ketika Babo dan Choco duduk bersama di sofa, keduanya saling bertegur sapa.
“Bo, Babo, rumahmu di mana ? “ tanya Choco.
“Rumahku di kota,” jawab Babo.
“Wah kalau di kota enak, ya?”
“Maksudnya enak gimana, Choco?”
“Katanya kalau di kota itu makannya enak-enak, tempat tidurnya mewah.”
“Kalo soal makan memang enak, tapi saya tidak bisa hidup bebas seperti kamu di sini, Choco.”
“Kenapa?”
“Saya setiap hari selalu dikunci di dalam rumah, sedangkan kamu bebas mencari makan, atau mungkin kamu juga bebas mencari pacar?” seloroh Babo.
“Akh kamu bisa aja, Babo.”
Kedua kucing itu terus ngobrol bersama dengan menggunakan bahasa mereka, keduanya berlagak tak ubahnya seperti manusia.
“Bagaimana kalau saya ikut tinggal bersama kamu di sini Choco ?”
“Loh, aku malah kepingin ikut kamu ke kota Babo, biar bisa makan yang enak, tidur di kasur empuk lagi.”
“Jangan Choco, lebih enak berada di desa, bisa bebas bermain. Lagi pula aku sering ditinggal pergi tuanku, sehingga merasa kesepian.”
“Baik kalau maumu begitu. Babo boleh tinggal bersama saya.”
“Nah, begitu Choco yang baik hati. Terima kasih kamu mau menerimaku hidup bersamamu,” ucap Babo lega.
Tak berselang lama, Babo dipanggil tuannya untuk segera makan. “Babo … ayo makan dulu!” Babo tak mengindahkan panggilan tuannya, karena masih konsentrasi ngobrol dengan Choco. Setelah dipanggil berkali-kali Babo baru memenuhi panggilan tuannya. Bersamaan dengan itu Choco juga dipanggil oleh tuannya. Kali ini Choco mendapat sajian istimewa, segelas susu segar.
Setelah Babo dan Choco selesai makan, mereka kembali berkumpul di tempat yang berbeda. Babo dimasukkan ke dalam kandang. Sementara Choco ditaruh di luar. Mereka melanjutkan obrolan yang sempat terputus karena panggilan dari tuannya.
“Bagaimana Babo, apa kamu benar-benar akan tinggal di desa?”
“Iya, serius saya akan tinggal bersamamu Choco.”
“Kalau tuanmu tidak mengijinkan bagaimana?” desak Choco.
“Saya akan meronta dan berlari,” tegas Babo.
Tibalah saatnya tuan Babo untuk kembali ke kota. Babo sudah dimasukkan ke dalam kandangnya, tidak bisa bergerak dengan leluasa. Meski meronta-ronta disertai dengan erangan yang keras, tuannya tidak menghiraukannya. Babo hanya bisa saling pandang dengan Choco sahabat barunya. “Maafkan saya Babo, saya tidak bisa menolongmu,” ucap Choco penuh haru. Ia tidak sampai hati menyaksikan Babo sahabatnya dikunci sendirian di dalam kandang. Selanjutnya Babo dimasukkan mobil dan dibawa kembali ke kota oleh tuannya. (*)
Semarang, 24 April 2025