Mitha Pisano
HATIPENA.COM – Di sebuah desa kecil nan elok yang dikelilingi sawah yang menghijau, hiduplah seorang wanita yang berparas cantik bernama Aisyah. Dia bukan siapa-siapa di mata dunia, tetapi bagi keluarganya, dia adalah cahaya, pelita yang tak pernah padam.
Semenjak menikah dengan Yusran, Aisyah sangat mengerti bahwa peran sebagai istri bukan hanya tentang cinta, akan tetapi juga pengabdian. Setiap pagi, sebelum matahari muncul di permukaan bumi, ia sudah bangun. Tangannya yang lincah menyiapkan sarapan untuk suaminya yang bekerja sebagai petani. Ia tak pernah mengeluh sekali pun meski tubuhnya merasa lelah, sebab baginya, melihat suami berangkat kerja dengan perut kenyang adalah merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri.
Setelah suaminya berangkat ke ladang, Aisyah beralih merawat kedua anaknya, Hana dan Rizky. Ia menyuapi mereka makan, membimbing mereka belajar, serta tak lupa pula mengajarkan tentang nilai-nilai kehidupan. Bagi dirinya, mendidik anak bukanlah hanya tentang memberikan ilmu, tetapi juga menanamkan rasa kasih sayang dan ketulusan.
Tidak berhenti di situ saja, Aisyah juga berbakti kepada orangtuanya yang telah menua. Ia rutin mengunjungi rumah orangtuanya, membantu memasak, mencuci, dan menemani mereka berbincang-bincang. “Sebelum aku menjadi istri dan ibu, aku adalah anak yang memiliki kewajiban berbakti,” begitu katanya dalam hati.
Di tengah-tengah kesibukannya, Aisyah tidak pernah melupakan keluarga besar. Setiap kali ada acara keluarga, ia selalu siap sedia membantu. Ia memasak, melayani tamu, dan memastikan segalanya berjalan dengan lancar. Bagi Aisyah, kebersamaan dengan keluarga adalah berkah yang tak terhingga nilainya.
Meskipun sering kali lelah datang, tetapi ia tak pernah mengeluh sedikit pun. Senyuman suami sepulang bekerja di ladang, tawa anak-anak saat bermain, dan pelukan hangat dari orang tuanya adalah hadiah terbesar baginya.
Hingga pada suatu hari, Yusran memandang istrinya yang tengah sibuk di dapur, lalu berkata lirih, “Aisyah, kamu adalah anugerah yang sangat besar dalam hidupku.”
Aisyah tersenyum manja, hatinya merasa kehangatan. Ia tak pernah meminta balasan apa pun, karena baginya, cinta kasih dan pengabdian adalah dua hal yang berjalan beriringan. Ia hanya ingin melihat keluarganya bahagia, dan di situ pula ia menemukan kebahagiaannya sendiri.
Seperti sang matahari yang selalu bersinar tanpa meminta balasan, seperti embun pagi yang menyejukkan tanpa diminta, begitulah Aisyah—cahaya yang takkan pernah redup dalam rumahnya.(*)
Bukittinggi, 3 Februari 2025