Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Kendhit Dalang Cilik

April 23, 2025 19:48
IMG_20250423_194431

Warsit MR

HATIPENA.COM – Berawal dari hobi, kemudian tertarik untuk mempelajari, dan akhirnya berbuah menjadi prestasi. Kendhit dalang cilik putra Pak Tomo Togog sejak usia balita suka nonton wayang kulit. Saat kelas lima SD mulai mengoleksi tokoh-tokoh pewayangan. Kendhit sering ikut ayahnya pentas sebagai pengrawit atau niyaga.

“Pak, nanti malam saya ikut nonton wayang kulit, ya ?” pinta Kendhit pada ayahnya.

“Boleh, tapi …. Bapak nanti malam kan jadi niyaga, punya tugas menabuh gambang mengiringi pak dalang.” jawab TomoTogog ayah Kendhit.

“Sebaiknya kamu nanti nonton sama teman-temanmu saja, agar lebih bebas.”

“Baik Pak kalau begitu, nanti malam saya nonton  bareng teman-teman. Tapi jangan lupa saya minta sangu buat jajan dan beli wayang ya, Pak.”

Setiap ada pertunjukan wayang kulit di kampung tetangga, Kendhit tidak mau ketinggalan. Ia merasa terhibur dengan pertunjukan tersebut. Karena di desanya kala itu jarang ada pertunjukan seni hiburan selain kethoprak dan wayang kulit. Meski hanya mengerti sebagian kecil alur ceritanya, Kendhit merasa senang nonton wayang. Ia menyukai terutama ketika perang kembang atau perang bambangan cakil, selepas waktu gara-gara tengah malam –saat adegan Punakawan dimainkan. 

Dalam  menyaksikan wayang, Kendhit sering memilih tempat duduk di balik kelir. Ia menikmati bayang-bayang hitam yang nampak bergerak seakan bisa berjalan sendiri. Seperti ketika dalang memainkan Gatotkaca yang sedang terbang di angkasa, dan lecutan anak panah yang melesat seperti di udara hampa. “Saya suka menyaksikan dari balik kelir, karena nampak lebih asyik,” gumamnya.

Setiap pulang nonton wayang kulit Kendhit selalu membeli wayang yang terbuat dari karton. Cukup banyak koleksi wayang  yang dimilikinya. Ada tokoh Pandawa — Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Kemudian tokoh Kurawa –Duryudana, Dursasana, Durmagati, Dursilawati, Citraksa, Citraksi dan lainnya. Tidak ketinggalan raja Dwarawati yang menjadi idolanya yakni Kresna beserta patihnya yang bernama Udawa. Kendhit juga mengoleksi tokoh punakawan –Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Masih banyak lagi wayang kulit yang disimpan di rumahnya, dan tidak bisa dihitung dengan jari.

Kendhit termasuk anak yang kreatif dan cerdas. Ia awalnya belajar mendalang secara otodidak. Di usia sebelas tahun, saat belajar mendalang menggunakan sarung bekas sebagai kelirnya. Kendhit mencari pohon pisang sendiri untuk menancapkan wayang. Ia mampu menggerakkan wayang dengan lincah serta menyebut tokoh-tokoh wayang dengan benar. Kendhit sering mengumpulkan kawan-kawannya untuk menyaksikan dirinya belajar mendalang. Anak kelas lima SD tersebut benar-benar punya bakat menjadi seorang dalang.

Setelah kelas enam, kepada ayahnya Kendhit minta dibelikan wayang kulit yang asli –bukan terbuat dari karton. Ayahnya tidak keberatan, terlebih setelah mengetahui hobi dan bakat Kendhit selama ini. Untuk memberi semangat kepada anaknya, Tomo Togog tidak perlu menundanya berlama-lama. Lelaki itu segera membelikan puluhan wayang kulit sesuai permintaan anaknya.

Bukan hanya wayang saja, bahkan Kendhit juga dibelikan berbagai properti yang dibutuhkan untuk belajar menggelar pertunjukan. Seperti kotak wayang, cempala, keprak dan kelir mini. Selain itu juga dilengkapi dengan karpet dan bantal khusus untuk tempat duduk saat mendalang.  

“Selain wayang kulit kamu juga saya belikan beberapa perlengkapan yang diperlukan untuk praktek mendalang,” ujar Tomo Togog kepada Kendhit.

“Baik Pak, terima kasih.” jawab Kendhit tak bisa menutupi kegembiraannya.

“Boleh belajar mendalang tapi jangan mengabaikan sekolahmu. Jadilah dalang kondang yang punya prestasi akademik tinggi,” pinta ayah Kendhit memberi semangat.

“Oke Pak, siap!”

Setelah lulus SD Kendhit masuk sekolah dalang. Awalnya dalam seminggu masuk empat kali, setelah bulan ketiga dan seterusnya masuk setiap hari setelah pulang sekolah.

“Apakah kalian suka dengan wayang kulit?” tanya pemilik sanggar pedalangan saat sedang mengajar.

“Ya Pak, saya suka!” jawab para dalang cilik hampir bersamaan, termasuk Kendhit.

“Apakah kalian ingin menjadi dalang kondang?” tanyanya lagi.

“Ya Pak, saya ingin menjadi dalang terkenal.” Semua anak menjawab serempak. Di masa depan mereka ingin memiliki penggemar yang banyak.

“Kalau kalian ingin menjadi dalang yang sukses, mulai sekarang belajarlah dengan tekun. Taati aturan yang berlaku di sini.” Para dalang cilik itu mengangguk sebagai tanda setuju.

Dua tahun Kendhit belajar dan digembleng di sekolah dalang. Hampir saja putus di tengah jalan, karena merasa kesulitan dalam mempelajari bahasa kawi atau bahasa pedalangan. Namun berkat semangat dan dorongan dari orang tuanya, sertifikat dalang cilik bisa diraihnya.

Hasilnya cukup memuaskan, Kendhit menjadi seorang dalang cilik yang mumpuni. Beberapa kali ikut kontes pagelaran dalang cilik, Kendhit sering meraih trophy juara. Kendhit menjadi terkenal di desanya, bahkan namanya berkibar hingga tingkat kecamatan. Hingga saat ini dirinya sering menerima undangan untuk ikut pentas bersama dengan dalang kondang. Atas prestasinya itu, Tomo Togog sekeluarga merasa bangga.***

Semarang, 22 April 2025