Diceritakan Oleh Mitha Pisano
HATIPENA.COM – Pada sebuah desa kecil di pesisir pantai Sumatra Barat, hiduplah seorang janda yang miskin bersama anak lelakinya yang diberi nama Malin Kundang. Dari kecil, si Malin dikenal sebagai anak yang sangat cerdas, akan tetapi ia juga suka malas untuk membantu ibunya.
Ketika Malin mulai beranjak dewasa, ia ingin mengubah nasib dan membantu ibunya keluar dari kemiskinan. Si Malin akhirnya memutuskan untuk pergi merantau dengan bergabung di sebuah kapal dagang yang sedang berlabuh di pantai. Walau dengan berat hati, ibunya mengizinkan Malin pergi dengan harapan dia akan kembali membawa keberuntungan.
Seiring berjalannya waktu, Malin Kundang berhasil menjadi orang yang kaya raya. Ia menikahi seorang wanita cantik dari keluarga terpandang. Akan tetapi, selama itu, Malin Kundang tak pernah kembali ke kampung halamannya.
Suatu ketika, kapalnya berlabuh di dekat desa asalnya. Sang ibu pun mendengar kabar tentang kedatangan Malin, betapa sangat gembira serta senang hatinya, dan ibu si Malin segera pergi bergegas ke pantai untuk menyambut kedatangan anaknya.
Akan tetapi, saat bertemu, Malin Kundang tidak mau mengakui wanita tua itu sebagai ibunya. Malin merasa malu karena ibunya terlihat tua, buruk dan miskin, sementara dia saat ini adalah orang kaya yang sangat terpandang.
Sang ibu mencoba untuk meyakinkannya, akan tetapi Malin tetap menyangkal, bahkan dia menghina dan mengusir ibunya dengan sangat kasar.
Dengan hati yang hancur dan perih serta air mata yang berlinang sang ibu lalu berdoa memohon kepada Allah agar Malin mendapat ganjaran atas perbuatannya.
Tak lama setelah itu, langit tiba-tiba menjadi gelap, badai besar datang, dan petir pun menyambar. Kapal Malin hancur seketika dan tubuh Malin berubah menjadi batu sebagai hukuman atas kedurhakaan kepada ibunya.
Hingga saat ini, batu yang diyakini oleh masyarakat adalah sebagai jelmaan Malin Kundang si anak durhaka dapat ditemukan di Pantai Air Manis Padang, Sumatra Barat, menjadi pengingat sangat pentingnya menghormati, menyayangi dan menghargai orangtua.
Cerita ini mengajarkan nilai-nilai moral, terutama pentingnya bakti kepada orangtua. (*)
Bukittinggi, Januari 252025