Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Menikmati Film Jumbo Serasa Mengunyah Ayam Goreng

April 12, 2025 10:24
IMG-20250412-WA0025

Oleh Amelia Fitriani

HATIPENA.COM – Jika ingin menjadi pencerita yang baik, maka harus bisa menjadi pendengar yang baik. Pesan itu aku tangkap secara mendalam setelah nonton film animasi terbaru buatan anak negeri berjudul “Jumbo” di sebuah bioskop di Kota Bogor pada Jumat sore yang diguyur hujan,12 April 2025.

Aku membawa serta dua anak laki-lakiku, yang berusia 9 dan 6 tahun, serta satu keponakan laki-lakiku yang berusia 6 tahun dan juga eyangnya anak-anak yang berusia 69 tahun. Hal yang menyenangkan adalah, film ini bisa dinikmati dan dicerna oleh segala usia. Apalagi, saat pesan tiket rupanya hampir 90 persen kursi bioskop di film “Jumbo” itu terisi penuh. Jadilah kami tidak dapat best seats. Tapi tidak juga mengurangi kenikmatan menonton film itu.

Hal yang membuat aku tertarik nonton film “Jumbo”, selain karena sedang viral di media sosial, utamanya adalah karena ini adalah film animasi karya dalam negeri, aku senang dan ikut bangga akan hal ini. Dan karena aku suka nonton stand up comedy, aku tahu bahwa “kepala” di balik film ini adalah comedian ternama Ryan Adriandhy. Ini semakin membuatku penasaran: isi kepala komedian yang juga animator di cerita anak-anak akan seperti apa bentuknya.

Film ini menceritakan soal seorang anak laki-laki yatim piatu bernama Don yang sering diejek “Jumbo” karena memiliki badan yang besar dan dianggap lambat saat bermain ketangkasan, seperti kasti dan bola. Dia kemudian ingin dianggap oleh teman-temannya, sehingga berupaya menampilkan pentas yang keren di festival. Pentas itu sendiri dibuat dari kisah buku dongeng peninggalan kedua orangtua Don yang penuh imajinasi.

Kupikir film ini hanya soal upaya Don dan temah-teman circle kecilnya untuk tampil keren di pentas, ternyata tidak. Muncul tokoh hantu bernama Meri yang membawa masalah lain serta terkait dengan kepala desa di tempat mereka tinggal. Rangkaian masalah itu pun kemudian berupaya diselesaikan doleh Don dan teman-temannya hingga di akhir cerita, semua masalah itu terlihat keterhubungannya.

Menariknya, meski memasukkan karakter hantu dan juga rangkaian masalah tadi, Don dan teman-temannya tetap tidak lepas dari karakter mereka sebagai anak-anak yang polos, lugu, spontan dan kadang ceroboh. Hal inilah yang membuat film ini lucu. Seperti saat Don berhasil merebut radio milik kepala desa, Don sadar bahwa dia tidak tau cara menggunakannya, kepolosan dialognya membuat aku, anak-anakku, keponakanku dan eyangnya anak-anak tiba-tiba tertawa, padahal adegan di film sebelumnya sedang serius.

Hal yang juga menarik adalah ketika dimasukkan sedikit unsur horor, seperti saat misi Don cs merebut radio, mereka membuat jebakkan berupa bayangan serupa hantu. Menurutku, adegan ini dibuat dengan porsi yang sangat pas untuk anak-anak. Karena aku memperhatikan reaksi anak-anak dan keponakanku, mereka kaget dan sempat ikut tegang saat adegan ini.

Dari semua karakter di film ini, aku paling tertarik dengan karakter Atta. Karena aku sering menemukan karakter seperti Atta di kehidupan. Dia seorang yang di awal cerita digambarkan sering merundung dan mengusili Don. Tapi seiring cerita berkembang, aku sebagai penonton diajak untuk melihat sisi lain, bahwa Atta sebenarnya adalah anak yang baik namun kesepian dan memiliki luka serta berada di situasi kehidupan yang kurang kondusif. Aku salut banget, karena film ini tidak hitam-putih, tapi memberikan ruang bagi setiap karakter untuk dimengerti sebagai seorang anak, sebagai seorang manusia.

Pun pada karanter Don, tidak diglorifikasi sebagai tokoh utama yang “wah”. Tapi ada sisi lain Don yang kurang baik sebagai seorang anak. Seperti digambarkan pada adegan saat Don tampak ambisius pada pentasnya hingga melalaikan janjinya pada Meri.

Film ini berkesan banget buat aku karena “Jumbo “berhasil membalut isu-isu serius seperti relasi orang tua-anak, tekanan di sekolah, upaya berteman serta ambisi dan rasa takut gagal dengan cara yang ringan, hangat, dan tetap menghibur. Anak-anak dan keponakanku ikut tertawa di beberapa bagian yang lucu dan termenung di adegan-adegan yang menyentuh.

Pesan kuat dari film ini aku tangkap dengan kuat di akhir cerita, terutama mengenai bagaimana keinginan untuk didengar dan kemampuan mendengar adalah sesuatu yang universal, dirasakan oleh anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa.

Setelah film berakhir, aku bertanya pada anak-anakku, ponakanku dan eyangnya anak-anak soal apa yang menurut mereka menarik dari film itu.

Jawaban anakku yang 9 tahun: Filmnya bagus, karena ada orang mati yang bisa keliatan dan bantuin cari orangtuanya.

Jawaban anakku yang 6 tahun: Ada kambingnya lucu.

Jawaban ponakanku: Keretanya bisa terbang.

Jawaban eyangnya anak-anak: Pelajarannya, jadi orang itu harus mendengarkan temennya dan jangan maunya sendiri.

Untuk aku sendiri, film ini seperti ayam goreng yang hangat. Bisa dinikmati dengan asyik dan dikunyah dengan renyah oleh anak-anak, orang dewasa maupun orang tua. Rasa yang dihadirkan universal, sehingga bisa dinikmati lintas generasi. Pesan yang dibawa sederhana tapi mendalam. ***