Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Surat dari Surga

January 23, 2025 16:43
IMG-20250123-WA0009

Cerpen Pipiet Senja

HATIPENA.COM – Sejak Annisa memposkan sepucuk surat, ia jadi rajin menunggu kedatangan Pak Pos. Setiap pulang sekolah, Annisa segera menanti di halaman. Terkadang sambil mengerjakan pe-er atau membaca buku cerita. Tetapi pikirannya tak pernah terpusat pada pekerjaannya. Annisa hanya berpikir tentang surat, surat, surat. Balasan surat dari Mama!

Seperti yang terjadi siang itu.“Pooos! Pooos!”

Annisa terlonjak dari lamunannya. Ia bangkit menyongsong Pak Pos. Wajahnya yang sehat berseri-seri penuh harap. Rambut Annisa yang di ekor kuda bergoyang-goyang manis saat berlari kecil. Ia memanjat tembok dan menggapaikan tanganya yang mungil ke arah Pak Pos.

“Surat buat Nisa, ya Pak?”

Pak Pos tertawa. “Hmmm, namanya siapa?”

“Annisa. Lengkapnya Annisa Aribowo!” Annisa menjawab cepat. 

Pak Pos memeriksa surat-surat di tangannya.

“Sayang sekali. Bukan! Ini surat dari Tuan Aribowo buat….“

“Ya, sudah!” Annisa mendadak ketus. “Itu buat Oma dari Ayah.”

“Kalau begitu, tolong disampaikan, ya, Nak?” pinta Pak Pos. Annisa mengangguk, wajahnya kecewa sekali.

Beberapa saat Pak Pos memperhatikannya. Berapa hari sudah anak perempuan imut-imut ini menanti sia-sia? Sebulan! Ya, seingatnya sudah sebulan anak itu menanyakan kalau-kalau ada surat untuknya. Pak Pos iba sekali melihatnya.

”Kalau boleh Bapak tahu, surat dari siapa yang kamu nantikan itu?” Annisa yang hendak berlalu jadi berhenti sejenak.
”Surat dari Mama. Tadi kan saya sudah bilang.”

Pak Pos menepuk keningnya.”Mamanya di mana?”

“Kata Oma di sana tuh, di surga.” Annisa menudingkan telunjuknya ke langit.

“Di surga…, bagaimana?” Pak Pos mengerutkan dahi.

“Iya di surga!” tegas Annisa.

“Kata Oma, Allah sudah memanggil Mama ke sana. Mama itu sudah meninggal.”

“Oooo….” Trenyuh sekali Pak Pos mendengar celotehnya. 

Annisa merasa mendapat perhatian, maka ia tak segera barlalu. Kemudian katanya, “Biar baru empat tahun, Nisa sudah bisa baca tulis. Nisa kan sudah sekolah taman kanak-kanak. Surat buat Mama dititip ke Mbak Atun, diposkan….”

“Waaah, hebaaat!” decak Pak Pos kagum.

“Kira-kira kapan, ya Pak… Ngng, surat balasannya datang?” tanyanya.

“Ehh, ngng….” Pak Pos seketika tergagap. Setelah berpikir sesaat Pak Pos menemukan akal.

“Begini saja, Nak. Nisa buat lagi surat yang baru. Melalui Bapak saja diposkannya, ya Nak?”

“Oh, Bapak mau menolong Nisa, ya?” Annisa hampir tak percaya.

“Tentu saja!”

“Wah, terima kasih banyak!” Wajah Annisa berseri-seri lagi. 

Rasanya Pak Pos ingin menitikkan air mata saja.

“Iyalah. Besok Nisa titip suratnya, ya Pak? Tolong, disampaikan sendiri, ya?” pintanya penuh harap.

“Insya Allah, Bapak akan bantu,” lirih Pak Pos. Percakapan dengan anak perempuan itu memenuhi pikiran Pak Pos sepanjang hari. Annisa mengharapkan balasan surat dari ibunya.  Bagaimana caranya agar aku bisa menolong Annisa, pikir Pak Pos. 

Sore itu sepulang dari kantor. Pak Pos berkunjung ke rumah Zakia, adiknya. Ia menceritakan perihal anak kecil bernama Annisa. Zakia amat trenyuh mendengar kisah sedih anak perempuan itu. Ia telah kehilangan suami dan anaknya dalam kecelakaan pesawat.

“Membalas surat-suratnya itu hal gampang,” kata Zakia.

“Baguslah!” Pak Pos senang mendengarnya. 

“Tapi dengan membalas suratnya itu kan sama saja kita sudah mendustainya. Mengesankan kepadanya bahwa ibunya bisa membalas surat. Bagaimana, ya?”

Zakia mengeluh. “Padahal ingin sekali membantu….”

“Yang penting sekarang kita harus memenuhi harapan Annisa. Kita bangkitkan semangatnya lewat surat. Nanti pelan-pelan akan kita beri pengertian kepadanya. Tentang makna meninggal yang sesungguhnya. Aku percaya pada kebijaksanaanmu. Sebagai seorang guru, kamu banyak tahu tentang anak.” 

Pak Pos panjang lebar membujuk adiknya. Hingga akhirnya Zakia menyerah dan menyanggupi permintaannya. Sejak itu Annisa sering menerima surat dari surga.  Ya, surat dari surga, begitu dia menyebutnya.

Surat-surat berisikan nasihat yang singkat dan mudah dipahami. Surat-surat yang membuat Annisa bahagia. Segala kerinduan dan kesepiannya seakan mendapatkan penyaluran. Kerinduannya kepada Mama. Kesepiannya karena tidak punya kawan. 

Di rumah neneknya, Annisa anak kecil satu-satunya. Papanya sering pergi berlayar. Kakaknya, Habibah memilih tinggal bersama bibinya di Depok. Sejak kecil Habibah memang sudah lengket dengan Tante Diana. Begitu Mama tiada, Habibah berkeras tinggal dengan keluarga Tante Diana.

Sementara Oma sering pergi ke pengajian. Ia hanya ditemani Mbak Ti. Tetapi Mbak Ti pun lebih sering sibuk di dapur. Jadi Annisa acapkali kesepian seorang diri.

Namun, surat-surat itu mendadak terputus. Padahal sebentar lagi Annisa akan berulang tahun yang kelima. Annisa telah membuktikan kemampuannya. Ia meraih banyak prestasi. Juara lomba mewarnai. Juara lomba menghafal surat-surat pendek. Juara MTQ tingkat TK se-DKI.

Annisa betul-betul sedih, sedih sekali. Annisa kecewa, marah. Pokoknya, sejuta rasa tak menyenangkan berkecamuk dalam dadanya!
“Malah murung menyongsong hari ulang tahunmu besok,” tegur Oma.

“Pestanya nggak jadi saja, Oma,” cetusnya mengagetkan.

“Lho, kenapa begitu? Undangannya kan sudah kita sebarkan. Oma juga sudah menyiapkan kue ulang tahun untukmu.”

“Pokoknya nggak jadi!” tandas Annisa ketus.

“Tentu ada alasannya, ya kan?” Oma mengelus rambut Annisa dan membujuknya lembut.

“Percuma sih. Habiiiiis…, nggak bakalan ada Mama,” sahut Annisa lirih.

“Oh, cucuku,” Oma merasa pilu mendengarnya.

“Mengertilah, Sayang. Mama sudah meninggal. Mama takkan bisa hadir di pesta ulang tahunmu. Tapi kan ada Oma yang menyayangimu…”

“Mama memang sudah pergi. Tapi Mama mestinya bisa datang besok!”

“Itu tak mungkin, Nisa,” Oma terus membujuknya lemah lembut.

“Kenapa? Nisa kan dapat surat dari surga!” Annisa berlari ke kamar. Tak berapa lama kemudian, ia menunjukkan simpanan suratnya.

Tentu saja Oma terkejut. Pahamlah Oma. Ada seorang ibu yang telah bersurat-suratan dengan Annisa. Oma jadi menyesali kealpaannya. Selama ini ia telah mengabaikan kesepian cucunya.

Tiba-tiba Pak Pos datang, berkenalan dengan Oma. 

“Maaf atas kelancangan saya. Tentang surat-surat dari surga itu, Oma,” jelas Pak Pos panjang lebar, hingga Oma memakluminya. 

“Tidak, Oma yang harus berterima kasih. Oma percaya akan niat baik adikmu. Kalian sudah memberi perhatian dan berbagi kasih sayang dengan Nisa.”

“Kenapa surat-suratnya mendadak terputus?” selidik Oma kemudian.

“Adik saya jatuh sakit, Bu,” jelasnya.
“Mau bertemu langsung dengan penulis surat itu, Nisa?” tanya Oma sesaat menjelaskan maksud kedatangan Pak Pos. Tampaknya Annisa mulai mengerti.
Anak perempuan itu mengangguk.

”Mau, mau sekali!”

“Biar pun dia bukan Mama?”

“Ya, nggak apa-apa!” katanya mantap.

“Apalagi Bu Zakia sekarang lagi sakit. Oh, Nisa harus menengoknya. Izinkan Nisa pergi, ya, Oma?”

Pertemuan antara Annisa dan Bu Zakia sungguh mengharukan. Zakia merasa mendadak sehat setelah dikunjungi Annisa. 

Esoknya Annisa merayakan ulang tahunnya di sebuah panti asuhan atas saran Zakia. Annisa kini menyadari bahwa masih banyak anak yang senasib dengannya. Bahkan ada yang jauh lebih malang daripada dirinya. (*)