Cerpen Dewi Farah
FATHIYA gadis kecil belia yang sejak lulusan SD sudah masuk ke salah satu Pesantren Al-Qur’an pilihan Ibunya di Jawa Timur sedang memandangi amplop-amplop kecil yang ia simpan pada tas mini dalam loker asrama miliknya.
Ya, amplop putih yang rutin ibu berikan pada Fathiya setiap semester dengan tulisan khas ibu di atas pojok kanan perihal seuntai kata motivasi untuknya. Namun, kali ini amplop ke-20 terasa berbeda bagi Fathiya. Isi amplopnya pun terasa begitu tebal tidak seperti biasanya.
Jum’at kemaren, Ibu, Ayah, Fatih dan Bu Dhe Lia membesuk Fathiya meski jadwalnya masih bulan depan. Sontak panggilan dari ruang Receptionis menggema di “Asrama Raudah” tertuju pada nama Fathiya Putri Hermawan asal Malang.
Dengan perasaan senang Fathiya menuju Receptionis dengan kostum khasnya sembari merangkul Al—Qur’an mini setiap kali santriwati keluar asrama. Fathiya tidak menyangka bahwa pertemuan kemaren adalah jam besuk terakhir Ibu untuknya.
Lima tahun lebih Ibu menyembunyikan penyakit kronisnya. Ibu Fathiya mengidap penyakit “Leukimia Myeloid Akut (AML)” sejak Fathiya duduk dibangku kelas 2 SMP di Pesantren.
Ibu menyembunyikan penyakit yang ia derita dari Fathiya sebab ia tak ingin Fathiya terganggu meski Ibu tahu bahwa Fathiya curiga atas perubahan fisiknya yang mulai kurus dan pucat.
Fathiya tidak menyangka bahwa jadwal besuk dengan berbagai makanan dan camilan yang lengkap adalah jamuan terakhir bersama ibu untuknya. Pelukan dan ciuman hangat ibu adalah terakhir dan tak akan pernah lagi Fathiya alami. Meski begitu banyak hal yang ingin Fathiya ceritakan kepada ibu.
Satu bulan dari kepergian Ibu, Fathiya sudah kembali ke Pesantren dan teringat amplop yang sempat ibu berikan pada jam besuk Jum’at bulan kemarin. Fathiya memandangi amplop tersebut dan dengan perasaan yang begitu sedih dan tangan gemetar, Fathiya perlahan membukanya.
“Fathiya sayang,
Fathiya anak gadis Ibu. Teruslah belajar, jadilah pribadi yang rendah diri, pribadi yang tangguh dan jadikanlah Al-Qur’an sebaik-baik penjagaan atas dirimu baik didunia maupun diakhirat. Fahiya anak gadis Ahlul Qur’an kebanggan kami. Jangan pernah menyerah. Terimakasih sudah sejauh ini Fathiya bertahan atas apa yang Ibu pilihkan. Terimakasih sudah membuat Ibu, Ayah dan adek Fatih bangga pada Fathiya. Terimakasih karna Fathiya sudah mampu membuktikan dengan bertubi-tubi prestasi terbaik yang Fathiya raih selama diPesantren. Maafkan Ibu nak., sekali lagi maafkan Ibu Fathiya..,
Ibu.”
Air mata Fathiya yang sedari tadi menganak sungai tumpah tak terbendung bak air terjun coban sewu yang mengalir deras. Fathiya rindu Ibu, Fathiya ingin mendengar suara Ibu. Sungguh batin Fathiya seketika ingin kehadiran Ibu.
“Tahukah engkau Ibu, bulan depan adalah Wisuda Hifdzul Qur’an 30 Juz Fathiya dan Fathiya lulus Mumtaz bersama 10 teman Hafidz lainnya. Ini janji Fathiya kepada Ibu. Terimakasih Ibu.”
Fathiya memeluk amplop terakhir dengan derai air mata kerinduan. Dari belakang Bilqis santriwati asal Palembang teman sekamar Fathiya menepuk pundak dan mereka saling berangkulan. Mereka dua gadis Hafidzah yang bernasib sama dengan impian seterang purnama.
Madura, 5 Desember 2025