Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Apologia Sigmund Freud Terhadap Koruptor

March 23, 2025 10:48
IMG-20250323-WA0030

Cerpen Rizal Tanjung

HATIPENA.COM – Malam itu, di sebuah ruang megah yang diterangi lilin-lilin kecil, berkumpullah para filsuf dari berbagai zaman. Meja panjang dari kayu mahoni yang elegan dipenuhi anggur merah, roti hangat, dan buku-buku tebal yang bertumpuk. Di ujung meja, Sigmund Freud mengangkat gelas anggurnya sambil tersenyum tipis.

“Saudara-saudara sekalian, kita berkumpul malam ini untuk membahas satu topik yang pelik—koruptor,” katanya dengan nada yang seolah mengandung pembenaran. “Saya berpendapat bahwa seorang koruptor tidak bersalah karena ada penyebabnya yang tidak disadari.”

Sokrates tertawa kecil sambil menyesap anggurnya. “Jadi menurutmu, seorang pejabat yang mencuri uang rakyat itu tidak bersalah hanya karena dia tidak sadar akan penyebab tindakannya?”

“Tepat sekali,” jawab Freud. “Seorang manusia adalah hasil dari pengalaman masa kecilnya, dorongan-dorongan tak terkendali, dan konflik internal. Siapa yang bisa menyalahkan anak yang tumbuh dalam keluarga yang mengajarkannya bahwa kekayaan adalah segalanya?”

Plato, yang duduk di sampingnya, menghela napas panjang. “Tetapi, Sigmund, dalam Republikku, aku telah menuliskan bahwa keadilan adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Jika seorang koruptor merusak keseimbangan masyarakat, bukankah ia telah melanggar prinsip keadilan?”

Di seberang meja, Aristoteles mengetuk meja dengan jarinya. “Aku setuju dengan Plato. Etika haruslah berdasarkan kebiasaan yang baik, dan kebiasaan baik harus ditanamkan sejak dini. Jika seorang pejabat memilih untuk korupsi, itu karena ia telah mengabaikan kebijaksanaan dan keadilan.”

Dari sudut ruangan, Datuak Perpatih Nan Sabatang menatap Freud dengan tajam. “Di Minangkabau, kami memiliki adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Koruptor itu bukan sekadar manusia yang tersesat, tapi manusia yang telah menzalimi banyak orang. Jika kita biarkan, maka negeri ini akan jatuh.”

Datuak Katumanggungan mengangguk setuju. “Freud, apakah kau ingin mengatakan bahwa jika seseorang dibesarkan dalam lingkungan pencuri, maka mencuri menjadi benar baginya? Maka hukum untuk apa ada?”

Freud mengangkat bahunya. “Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kita tidak boleh melihat koruptor sebagai satu-satunya pihak yang bersalah. Lingkungan dan masyarakat yang membentuknya juga ikut bertanggung jawab.”

Ibn Khaldun, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. “Dalam Muqaddimah, aku telah menjelaskan bahwa ketika sebuah negara mencapai kemakmuran, moral penguasanya cenderung merosot. Korupsi adalah penyakit negara yang sedang menuju kehancuran. Mengapa kita harus mencari alasan untuk membela mereka?”

Marcus Aurelius, kaisar sekaligus filsuf Stoik, menatap Freud dengan penuh kebijaksanaan. “Dalam Meditations, aku menulis bahwa seseorang harus hidup dengan kebajikan. Seorang koruptor memiliki pilihan—dia bisa memilih untuk hidup jujur, atau tenggelam dalam kerakusan. Apakah kita harus mengasihaninya hanya karena dia tidak sadar akan penyebab kejahatannya?”

Freud tersenyum tipis. “Kalian semua berpikir dari sudut pandang hukum dan moral. Aku berpikir dari sudut pandang psikologi. Jika kita memahami akar masalahnya, kita bisa mencegah korupsi sejak dini.”

Al-Farabi, filsuf Islam, yang sejak tadi mendengarkan dengan saksama, akhirnya berbicara. “Pencegahan memang baik, tetapi hukuman juga harus ada. Jika tidak, kita akan melahirkan generasi yang percaya bahwa korupsi adalah sesuatu yang bisa dimaafkan begitu saja.”

Sokrates tersenyum dan menatap Freud dalam-dalam. “Sigmund, kau suka menggali ke dalam alam bawah sadar manusia. Tetapi, aku bertanya kepadamu: Apakah seorang koruptor benar-benar tidak tahu bahwa dia salah? Jika dia benar-benar tidak sadar, mengapa dia menyembunyikan uangnya, menyuap hakim, dan membungkam para saksi?”

Ruangan itu menjadi sunyi. Freud tidak segera menjawab. Matanya menatap anggur dalam gelasnya, seolah mencari jawaban di sana.

Di luar, angin malam berhembus lembut. Di dalam ruangan, para filsuf telah mencapai satu kesimpulan: seorang koruptor bukanlah korban, melainkan pelaku. Dan tidak ada filsafat yang bisa membenarkan ketidakadilan. (*)

Padang, 22 Maret 2025