Cerpen Rizal Tanjung
HATIPENA.COM – Di desa kecil yang dikelilingi perbukitan hijau, embun pagi menyelimuti dedaunan yang menari bersama angin. Di sanalah Arya tinggal, seorang pemuda yang pikirannya kerap dipenuhi gemuruh keraguan. Ia cerdas, namun kecerdasannya sering terkalahkan oleh ketakutan yang tumbuh liar di hatinya. Setiap kali dihadapkan pada sebuah peluang, pikirannya lebih dahulu melukis bayangan kegagalan, hingga keberanian surut sebelum sempat berlayar.
Suatu senja, ketika langit mulai mengurai warna keemasan, Arya melangkah ke rumah seorang lelaki tua yang dikenal bijak di desa—Ki Jaya, seorang petani yang menanam bukan hanya benih di ladang, tetapi juga kebijaksanaan di hati banyak pemuda.
“Ada yang menggelisahkanmu, Arya?” tanya Ki Jaya, suaranya sehalus angin yang menyentuh ilalang.
Arya menghela napas. “Aku merasa tak pernah cukup baik, Ki. Setiap kali ingin melangkah, pikiranku lebih dulu membayangkan kegagalan. Seakan ada sesuatu yang mengakar dalam diriku, yang terus menahanku.”
Ki Jaya tersenyum, lalu mengajak Arya berjalan ke ladangnya. Matahari mulai merunduk di ufuk barat, meninggalkan sinar lembut yang menyelimuti hamparan tanah subur. Ki Jaya berhenti di tepi ladang, menggenggam segenggam benih di tangannya.
“Lihat tanah ini, Arya,” katanya, suaranya dalam seperti aliran sungai yang menenangkan. “Apa yang terjadi jika aku menanam benih yang baik di sini?”
Arya menatap tanah itu, merenung sejenak. “Benih itu akan tumbuh menjadi tanaman yang kuat dan berbuah.”
Ki Jaya mengangguk. “Lalu, bagaimana jika aku membiarkan tanaman liar tumbuh di sini?”
Arya memahami arah pembicaraan Ki Jaya. “Tanaman liar akan mengambil nutrisi dari tanah dan membuat tanaman yang baik sulit tumbuh.”
Ki Jaya tersenyum, matanya berkilat penuh makna. “Begitu pula dengan pikiranmu, Arya. Setiap hari, kau menanam sesuatu di ladang pikiranmu. Jika yang kau tanam adalah kepercayaan diri, harapan, dan syukur, hidupmu akan berkembang dengan baik. Tapi jika kau membiarkan ketakutan dan keraguan tumbuh tanpa kendali, mereka akan menghisap seluruh keberanianmu hingga kau sulit melangkah.”
Arya terdiam. Kata-kata Ki Jaya menggema di benaknya. Selama ini, ia telah membiarkan ketakutan dan keraguan berakar kuat, seperti tanaman liar yang menyelimuti ladang subur.
Ki Jaya menepuk bahu Arya. “Mulai sekarang, tanamlah satu benih baik setiap hari. Bangun dengan bersyukur, hadapi tantangan dengan keyakinan, dan lihat sisi baik dari setiap kejadian. Setiap kali rasa takut datang, bayangkan kau sedang mencabut tanaman liar dari ladang pikiranmu. Semakin sering kau melakukannya, semakin subur ladang itu.”
Malam itu, Arya tidak langsung tidur. Ia duduk di beranda rumahnya, menatap langit bertabur bintang, merenungkan ucapan Ki Jaya. Ia menyadari, setiap ketakutan yang ia pelihara selama ini bukanlah kenyataan, melainkan hanya bayangan yang ia ciptakan sendiri.
Esok paginya, Arya mencoba sesuatu yang baru. Ia bangun dengan hati yang lebih lapang, berbisik dalam hati, Hari ini aku akan menanam benih keberanian. Ketika sebuah tantangan datang, ia mencoba menghadapinya dengan keyakinan, bukan lagi dengan keraguan.
Hari-hari berlalu, dan kebiasaan kecil itu mulai mengubah hidupnya. Ketika rasa takut menyusup, ia menggantinya dengan pikiran positif. Ketika kegagalan menyapa, ia mencari pelajaran di dalamnya. Lambat laun, ia melihat perbedaannya—ia mulai melangkah lebih ringan, beban di hatinya semakin berkurang.
Tahun demi tahun berlalu, dan Arya tumbuh menjadi pemuda yang berbeda. Ia bukan lagi pemuda yang terbelenggu oleh ketakutan, melainkan seseorang yang berani bermimpi dan mengejarnya. Dengan ladang pikiran yang kini subur oleh kepercayaan diri dan harapan, Arya mencapai impian yang dahulu tampak mustahil. Ia menjadi seorang pengusaha sukses, tidak hanya kaya akan materi, tetapi juga kaya akan kebijaksanaan.
Pada suatu sore, ketika langit kembali merona jingga, Arya berjalan menuju ladang Ki Jaya. Ia melihat lelaki tua itu sedang duduk di bawah pohon rindang, tersenyum melihat tanamannya yang tumbuh dengan subur.
“Kau datang, Arya,” sapa Ki Jaya.
Arya tersenyum. “Aku ingin berterima kasih, Ki. Dulu aku datang kepadamu dengan ladang pikiran yang penuh tanaman liar. Tapi kini, aku telah menanam benih yang baik, dan aku bisa merasakan hasilnya.”
Ki Jaya mengangguk pelan. “Ladang pikiran harus selalu dirawat, Arya. Jangan biarkan tanaman liar kembali tumbuh. Teruslah menanam benih yang baik, karena itulah yang akan menentukan masa depanmu.”
Angin sore berembus lembut, membawa harum tanah yang subur. Arya menatap sekeliling, menyadari bahwa kehidupan, seperti ladang, adalah cerminan dari benih yang kita tanam. Dan di dalam dirinya, ia tahu—ia akan terus menanam kebaikan, hingga hidupnya berbuah manis. (*)
Padang, 29 Januari 2025