Cerpen Fanny J. Poyk
HATIPENA.COM – Tidak selamanya mahluk yang bernama manusia akan menetap di bumi. Secara logika Itu sudah pasti. Waktu akan merenggut usia dengan perkasa. Manusia mulai dari lahir, kanak-kanak lalu dewasa, mengikuti rotasi bumi dengan segala permasalahannya. Dan sakit-penyakit menjadi kontribusi nyata yang tidak terelakkan. Dia berpelukkan mesra dengan raga yang berangsur-angsur melemah kala usia kian menua.
Begitulah yang terjadi. Nenek Maryam mengalaminya. Di usianya yang ke delapan puluh lima, tubuhnya tak bisa lagi bekerjasama dengan semangat yang masih terlihat berbinar di matanya. Nenek Maryam mulai merasa tidak berdaya. Ditambah lagi tatkala kakinya sudah tidak dapat menahan beban tubuhnya, lalu dengkulnya terserang penyakit neuropati saraf tepi sehingga membuatnya tidak bisa berjalan. Nenek Maryam hanya bisa tergolek tanpa daya di atas pembaringannya, kondisinya mulai memprihatinkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya. Kemudian seiring berjalannya waktu, segala kotoran yang keluar dari ususnya, tak bisa lagi ia bersihkan sendiri, harus ada perawat yang membersihkan seluruh bokong serta tubuhnya.
Menjadi manusia di usia tua dengan kondisi yang sangat memprihatinkan, sungguh merupakan absurditas mutlak yang tak bisa ditolaknya.
Perlahan kenangan tentang masa mudanya mengilasbalik dan terbentang luas di benak ingatannya. Nenek Maryam terkenang kala ia menjadi seorang jurnalis.
Kala itu, di tubuhnya yang perkasa, dia terkenang ketika merambah semrawutnya Jakarta juga dunia luar dengan ragam cerita dan pemandangan di yang tersaji di hadapan. Dia menyusun semuanya ke dalam tulisan-tulisan yang dicari para pembaca, dia mewawancarai Presiden, Menteri, Gubernur, juga kehidupan masyarakat marginal yang menderita di tengah kelamnya kemiskinan.
Hingga akhirnya, raga tak seperkasa yang diduga. Kerapuhan tubuh akibat diabetes mulai menggerogoti seluruh otot, tulang dan persendiannya. Di stadium terakhir penyakit itu, dokter menyerah dan berkata, ”Kami sudah berusaha dengan maksimal. Ibu Anda tidak bisa sembuh. Jadi rawatlah dia dengan baik. Usia Ibu Anda secara kedokteran kami prediksi tinggal dua bulan lagi. Untuk menunggu masa-masanya di dunia ini berakhir, ada tempat yang bisa kami sediakan, namanya Bilik Menunggu Kematian. Di sana ada perawat yang akan menjaga dan merawat Ibu kalian hingga dia tiada.”
Begitu kata dokter yang memeriksa dan mengobati penyakit diabetesnya.
Nenek Maryam Merenung, dia tak menyangka saat putrinya mengatakan dia harus tinggal di bilik itu.
Sang Nenek berkata, ”Jika benar waktuku menetap di bumi hanya tersisa dua bulan lagi, aku ingin tinggal bersamamu. Waktu kita bersama tinggal sedikit.” Katanya.
“Kami tetap menempatkan Ibu di bilik itu. Di sana ada perawat yang mengurus Ibu. Saya dan suami bekerja, anak-anak sibuk dengan aktivitas mereka. Di bilik itu semuanya terjamin, ada dokter yang memperhatikan perkembangan kesehatan Ibu. Kami akan melihat Ibu sekali seminggu.” Kata putrinya.
Nenek Maryam terdiam. Dia menangis dalam sunyi. Hatinya sedih sekali. Katanya di dalam hati, “Putriku, jika aku tiada dapatkah kita bertemu lagi?”
Tanya itu terus berpendar di benaknya. Bilik Menunggu Kematian No 18 seperti permintaannya, di sanalah ia kini menetap. Nomor 18 itu punya kesan khusus baginya, itu tanggal kelahiran sang suami yang telah meninggalkan dunia yang fana ini sepuluh tahun yang lalu. Sang suami yang lahir pada tanggal 18 November, meninggal akibat serangan jantung yang datangnya tiba-tiba.
Kala itu Nenek Maryam merasa dunianya berhenti berputar. Ketakutan pada rotasi kehidupan di mana pada akhirnya ia akan sendirian di dunia ini, perlahan mulai menjadi nyata.
Meski dua anak laki-laki dan perempuan sudah ia lahirkan, perhatian dan cara mereka merawatnya berbeda dengan sang suami. Terlebih lagi setelah mereka berkeluarga dan punya rumah masing-masing, maka kesepian yang paling dalam mulai menderanya.
“Punya anak banyak atau sedikit, tokh sama saja. Ketika mereka dewasa lalu menikah, mereka bukan lagi milikku. Mereka telah menjadi milik orang lain. Segala hal yang berkaitan dengan perhatian dan kasih sayang, ekonomi, dan ketergantungan yang dulu pernah terjadi antara anak dan orangtua, terputus dengan sendirinya. Sebab para orangtua itu akan dianggap sebagai parasit dan anak akan merasa menjadi sapi perah. Apalagi jika sang orangtua tidak memiliki pensiun, maka celakalah lajur kehidupan yang ada di hadapan.
Tak jarang, karena para orang tua itu dianggap sebagai beban, maka para anak akan membuangnya di jalanan. Atau bisa juga menaruhnya di rumah jompo. Kisah orangtua melahirkan, membesarkan, merawat anak-anaknya dan memberi pendidikan yang bagus, itu sudah menjadi hukum alam. Harapan untuk tinggal di rumah sendiri di masa tua, dirawat dan diperhatikan oleh anak-anak setiap saat, dapat menjadi sebuah harapan yang mengarah ke opini bernada minor. Itu dianggap harapan yang egois dan tidak mungkin bisa bekerjasama dengan generasi milenial, generasi di mana dunia bersama teknologi yang kemajuannya melesat bak meteor tidak lagi mau menerima kembali keadaan konvensional yang pernah ada.
Juga akan timbul pertanyaan yang menyudutkan, “mengapa dulu memilih menikah, membuat dan melahirkan anak?”
Tangis Nenek Maryam kian tak dapat membendung air mata yang menetes di pipinya. Bilik Menunggu Kematian No 18, mulai menjadi ruang sebenar-benarnya untuk menunggu kematiannya. Usia yang tersisa tinggal dua bulan lagi, lambat laun telah menjadi proses alami yang memang sudah seharusnya akan terjadi.
Alasan yang kuat dari setiap argumentasi muncul, berkata bahwa tidak mungkin manusia akan hidup selamanya di bumi. Proses untuk menuju ke luar dari bumi akan mmenempuh jalannya sendiri-sendiri. Begitu juga dokter dan para perawat yang memperhatikan kekuatan tubuh untuk mengiring jiwa ke luar dari raga.
Nenek Maryam menantinya dengan pasrah. Sama seperti saat-saat narapidana yang memperoleh hukuman mati akan berhadapan dengan para regu tembak atau suntikan beracun yang ditusukkan ke tubuh, nyawa seketika terbang ke awan kemawan.
“Nenek Maryam sudah siap? Besok hari terakhir dari waktu selama dua bulan untuk menikmati kehidupan. Jika Nenek merasakan waktunya telah tiba, jangan sungkan-sungkan untuk memberitahukan ke saya,” ucap perawat perempuan usai membersihkan kotoran dan mengangkat pampersnya.
Nenek Maryam menatap langit-langit Bilik Menunggu Kematian No. 18. Dia menanti dengan harap cemas kapan jiwanya pergi dari raga. Hasil pemeriksaan kesehatannya tidak bagus. Seperti kata dokter, waktu yang hanya dua bulan untuknya, sudah tiba. Hingga bulan ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan, kesepuluh, kesebelas dan keduabelas, Nenek Maryam menunggu nyawanya melesat dari tubuh.
Bilik Menunggu Kematian tetap lengang. Para anak mulai terlihat resah, juga gelisah. Mereka cemas sebab tagihan untuk membayar perawatan ibunya selama berada di bilik itu semakin melonjak. Dan laporan yang paling meresahkan, tagihan yang paling besar datangnya dari makanan.
Para anak tak pernah menduga kalau ibu mereka makannya semakin kuat, dia sebentar-sebentar lapar. Tubuh Nenek Maryam bertambah sehat dan kuat. Sekarang dia sudah bisa bangun dari tempat tidurnya dan menatap bunga-bunga yang bermekaran di halaman bilik.
“Aku mau pulang. Keluarkan aku dari bilik ini. Biarkan aku mati di bilikku sendiri, di rumah yang pernah menjadi tempat melahirkan dan membesarkan kalian. Tuhan yang menentukan usiaku bukan bilik, dokter, para perawat dan kalian!” kata
Nafas masih bertahan di raga Nenek Maryam hingga dua tahun berikutnya. Di tahun yang sama, kabar menyakitkan hatinya menempel kuat di lingkup rasa yang tak sanggup menghentikan luruhnya air mata. Tiga anaknya dan tiga cucu, tewas dalam sebuah kecelekaan beruntun di sebuah jalan tol.
“Harusnya aku yang diambil lebih dulu, bukan mereka!” Jerit Nenek Maryam, “harusnya aku yang pergi, aku yang mereka taruh di bilik menunggu kematian itu.” Raungnya di kesunyian malam yang paling sunyi. (*)
Selesai