Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Boulevard Kenangan

January 2, 2025 08:30
IMG_20250102_082840

Sigit MPS

SENJA merayap perlahan, menyisakan jejak cahaya di tepi langit München yang kelabu. Angin musim gugur menari di antara dedaunan yang jatuh, menghamburkan aroma tanah basah dan kesunyian yang menggema di setiap sudut kota. Di sudut apartemen kecil di lantai sepuluh, Wulan duduk terpekur, memeluk lututnya sendiri. Jemarinya yang gemetar memegang sepucuk surat bersampul biru muda, seakan menggenggam serpihan waktu yang telah lama berlalu.

Di seberang ruangan, tape recorder tua mengalunkan lagu Boulevard milik Dan Byrd, merayapi udara seperti bisikan hantu masa lalu:

“I don’t know why
You said goodbye
Just let me know you didn’t go
Forever, my love…”

Lirik itu melukai hati Wulan perlahan, namun pasti. Suaranya lirih, seperti merintih di sudut malam yang dingin. Lagu itu terasa hidup, menguliti dinding hatinya yang retak. Matanya memburam oleh kabut air mata, mengalir tanpa bisa ditahan.

Nama itu, Rangga Ardiansyah Dwi Putra.

Sejenak, Wulan menutup matanya, membiarkan kenangan menyeruak dari dasar ingatan. Lelaki dengan sorot mata tajam, alis yang hampir bersambung, dan senyum yang mampu menghangatkan hari-harinya. Sosok yang pernah menjadi rumah, kini berubah menjadi luka yang ia simpan rapat-rapat.

Rangga adalah musim semi di dalam hidupnya yang sepi. Rangga adalah Edelweiss yang abadi—cinta yang tak akan pernah layu, begitu katanya. Tapi di sini, di negeri yang dingin dan jauh, Wulan merasakan Edelweiss itu telah berubah menjadi duri yang melukai setiap denyut nadinya.

Dengan tangan bergetar, ia membuka surat yang telah membuatnya kehilangan ketenangan sejak kemarin. Hanya selembar, tapi kalimat-kalimatnya adalah pedang yang menusuk hati, meninggalkan luka yang tak terperi:

“Mengapa bisa jadi begini, Cah Ayu?
Mengapa kamu pergi tanpa pamit padaku?
Apa salahku?
Mengapa tega meninggalkan aku?”

Wulan menunduk. Air matanya jatuh tanpa suara, membasahi kertas yang telah menjadi saksi dari cinta yang direnggut takdir. Lirik lagu masih bergema, semakin menambah luka di dadanya:

“Please tell me why
You make me cry
I beg you please
I’m on my knees…”

Hatinya hancur. Lagu itu seakan mewakili tangisan Rangga, merintih pilu di sudut waktu yang tak bisa mereka rengkuh lagi.

Kenangan membawanya kembali ke masa lalu—ke sebuah kursus bahasa di kotanya, saat Rangga pertama kali hadir dalam hidupnya. Wulan yang saat itu masih remaja, dengan kepang dua dan semangat belajar yang membara, tak pernah mengira bahwa lelaki dengan senyum menawan itu akan menggetarkan hatinya. Rangga yang gigih, yang tak pernah lelah mengejarnya, bahkan ketika Wulan dengan sengaja bersikap dingin dan menjauh.

Namun, Rangga tak menyerah. Di balik keteguhan hatinya, tersimpan cinta yang hangat dan melindungi. Rangga yang mengumpulkan bunga Edelweiss dari puncak gunung hanya untuk membuatnya tersenyum. Rangga yang selalu siap mengulurkan tangan, menghapus kekhawatiran, dan memberikan keyakinan bahwa cinta mereka akan abadi.

“Seperti bunga ini,” katanya saat menyerahkan Edelweiss kepadanya. “Cinta kakak tak akan layu. Tak akan pernah hilang, meski waktu dan jarak memisahkan.”

Wulan terisak. Kata-kata itu kini terasa seperti janji yang ia khianati.

Ia memandang ke luar jendela. Langit yang muram dan angin yang menderu semakin mempertegas kehampaannya. Pikirannya melayang kembali ke hari di mana hidupnya terbelah.

Ketika namanya diumumkan sebagai penerima beasiswa ke Jerman, Wulan merasakan badai di hatinya. Ia ingin menolak. Ia ingin bertahan di sisinya, bersama Rangga, membangun rumah dan masa depan yang telah mereka impikan. Tapi sorot mata bangga dari kedua orang tuanya meruntuhkan segala niat.

“Terima kasih, Nak. Kau mewujudkan impian Ayah yang tertunda.”

Wulan tak kuasa berkata-kata. Ayahnya, yang telah mengorbankan segalanya demi pendidikan dan masa depannya, kini menitipkan mimpi yang selama ini terpendam. Dengan hati yang hancur, ia memutuskan pergi—meninggalkan cinta demi bakti.

Tak ada waktu untuk berpamitan. Tak ada kata yang mampu menjelaskan luka yang akan ia tinggalkan di hati Rangga. Ia hanya menulis sepucuk surat, singkat dan pedih:

“Maafkan Wulan, Kak. Lupakan Wulan. Semoga Kakak menemukan kebahagiaan yang lebih baik dariku.”

Dan kini, surat balasan dari Rangga datang, membangkitkan semua yang coba ia kubur dalam-dalam.

Lirik lagu terus bergema, mencabik-cabik ketenangan yang semu:

“Never knew that it would go so far
When you left me on that boulevard…”

Wulan menunduk, menatap bunga Edelweiss yang telah mengering di meja kecil di sudut kamarnya. Bunga itu adalah kenangan, adalah janji yang tak mampu ia genggam.

Hatinya menjerit dalam sunyi. Ia ingin berlari, ingin kembali ke masa lalu dan mengubah segalanya. Tapi waktu tak pernah mengizinkan. Waktu hanya bergerak maju, meninggalkan jejak luka di hati yang tertinggal.

Angin musim gugur kembali berembus, menerbangkan dedaunan dan membelai pipi Wulan yang basah oleh air mata. Ia tahu, cinta ini tak akan pernah mati. Rangga akan selalu menjadi Edelweiss di sudut hatinya—abadi dan tak tergantikan.

Namun, Wulan juga tahu, ada cinta lain yang lebih besar. Cinta kepada ayah dan ibunya, yang membuatnya rela mengorbankan segalanya. Dan di antara cinta dan pengorbanan, ia hanya bisa berdoa.

Berdoa agar suatu hari, Rangga memaafkannya. Agar suatu hari, luka itu tak lagi menyakitkan.

Lagu Boulevard berakhir, tapi gema kesedihannya tetap tinggal. Menghantui, membisikkan kenangan yang tak pernah mati. Di luar sana, langit mulai gelap, tapi Wulan tetap memandang ke kejauhan, menunggu sesuatu yang entah kapan akan datang—barangkali keikhlasan, atau mungkin, keajaiban. ***

Ditulis kembali oleh Guys MPS berdasarkan cerita oleh Violetta Ayanna