Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Cahaya di Balik Jeruji

March 10, 2025 08:03
IMG-20250310-WA0048

Cerpen Mochamad Taufik

HATIPENA.COM – Malam itu, angin dingin menusuk dinding-dinding Biara Santo Minerva di Roma. Di dalam sebuah sel sempit, seorang lelaki tua duduk dengan pena di tangan. Wajahnya letih, tetapi matanya tetap menyala dengan api yang belum padam—api kebenaran. Namanya Galileo Galilei.

Ia menatap keluar jendela kecil yang berjeruji besi, mengarahkan pandangannya ke langit. Di sanalah, jauh di atas sana, bintang-bintang tetap berpendar, seolah mengejek kebodohan manusia yang bersikeras menutup mata terhadap kenyataan.

-0-

Beberapa tahun sebelumnya, Galileo telah berdiri di hadapan para kardinal Gereja Katolik. Dengan penuh keyakinan, ia mempertahankan gagasannya bahwa matahari, bukan bumi, adalah pusat semesta. Ini bukan sekadar dugaan liar—melainkan hasil pengamatannya sendiri melalui teleskop yang ia kembangkan.

Namun, teori heliosentris ini bertentangan dengan pandangan Gereja yang berpegang teguh pada model geosentris Ptolemeus, yang sudah menjadi doktrin resmi selama berabad-abad.

“Mengapa kau menolak kebenaran Tuhan?” bentak seorang uskup saat persidangan.

“Saya tidak menolak Tuhan,” jawab Galileo, suaranya tenang tetapi tegas. “Saya hanya melihat bagaimana Tuhan menata semesta dengan cara yang berbeda dari yang kita kira.”

Kata-katanya mengguncang ruangan. Beberapa orang menunduk, takut mempertanyakan kepercayaan lama. Tetapi bagi gereja, mempertanyakan dogma adalah dosa besar.

Pada akhirnya, Galileo dihukum. Ia dipaksa menyangkal pandangannya dan menjalani tahanan rumah seumur hidup.

-0-

Di dalam selnya, Galileo tetap menulis, tetap berpikir. Meskipun tubuhnya terkurung, pikirannya tetap bebas menjelajah semesta.

Suatu malam, seorang pemuda mengetuk jeruji selnya.

“Maestro,” bisiknya. “Aku diam-diam membaca bukumu. Bagaimana mungkin gereja menganggap pengetahuan ini sebagai ancaman?”

Galileo tersenyum samar. “Karena kebenaran sering kali menakutkan bagi mereka yang merasa nyaman dalam kebohongan.”

Pemuda itu menggenggam erat salinan Dialogo—buku yang menyebabkan Galileo dikutuk. “Aku akan memastikan bahwa suatu hari nanti, dunia akan tahu bahwa engkau benar.”

Galileo menatapnya dengan harapan.

“Pergilah,” katanya. “Sebarkan cahaya ilmu pengetahuan. Karena meski kita berada dalam kegelapan, cahaya itu tak akan pernah padam.”

-0-

Sementara itu, jauh di belahan dunia lain…

Di dunia Islam, para ilmuwan tidak mengalami nasib sekelam Galileo. Di Baghdad, Al-Andalus, dan berbagai pusat keilmuan Islam lainnya, pemikiran tentang alam semesta terus berkembang tanpa hambatan gerejawi.

Seabad sebelum Galileo, seorang pemikir besar Islam, Nasir al-Din al-Tusi (1201–1274), telah menggagas sistem astronomi yang menjadi jembatan antara geosentris Ptolemeus dan heliosentris Copernicus. Dengan Teori Tusi Couple, ia membuktikan bahwa model Ptolemeus bermasalah dan menyusun konsep yang mendekati sistem heliosentris.

Bahkan, lebih jauh ke belakang, Ibnu al-Shatir (1304–1375), seorang astronom dari Damaskus, telah mengembangkan model matematis yang secara mengejutkan hampir identik dengan model Copernicus yang datang dua abad kemudian.

Di Kairo, seorang sarjana muda sedang menyalin manuskrip karya Ibnu al-Shatir. Di sela pekerjaannya, ia bertanya kepada gurunya, “Mengapa dunia Islam tidak menghukum para ilmuwan seperti yang dialami Galileo?”

Sang guru tersenyum. “Karena Islam tidak takut pada ilmu. Al-Qur’an sendiri mengajarkan kita untuk membaca dan mencari kebenaran. Afala yatadabbarun?—tidakkah mereka berpikir?”

Pemuda itu mengangguk pelan. Ia sadar, di dunia Barat, kebenaran harus diperjuangkan dengan nyawa. Tetapi di dunia Islam, kebenaran adalah bagian dari perintah Tuhan itu sendiri.

Dan meski Galileo harus berbisik dalam gelap, di dunia Islam, ilmu pengetahuan terus berpendar terang, menerangi peradaban manusia.(*)