Cerpen Mochamad Taufik
HATIPENA.COM – Di bawah langit Kairo yang luas, M. Yusron menatap megahnya Masjid Al-Azhar. Di kota yang menjadi pusat keilmuan Islam ini, ia akan memulai babak baru dalam hidupnya.
Dulu, di pesantren kecilnya, Pondok Pesantren Al-Amri, Leces, Probolinggo, ia menghabiskan hari-harinya dengan menghafal Al-Qur’an. Dua puluh juz telah ia kuasai. Kini, ia diterima di jurusan Tafsir dan Ulumul Qur’an, Universitas Al-Azhar.
Namun, tak butuh waktu lama bagi Yusron untuk menyadari bahwa belajar di tanah para ulama ini tidaklah mudah.
Dunia Baru yang Tak Terduga
Beruntung, Yusron tidak sendiri. Sejak kedatangannya, ia langsung disambut oleh komunitas mahasiswa Indonesia dari Pesantren Al-Amri. Para senior yang lebih dulu menetap di Mesir membantu mahasiswa baru agar tidak merasa asing.
“Antum santri Al-Amri?” tanya seorang senior bernama Ustaz Fauzan, alumni yang kini menjadi koordinator komunitas santri Al-Amri di Mesir.
“Iya, Ustaz,” jawab Yusron.
“Jangan sungkan kalau butuh bantuan. Di sini kita seperti keluarga.”
Kehadiran komunitas ini sangat membantu. Mereka mengadakan kajian tafsir mingguan, diskusi kitab, hingga membantu mahasiswa baru memahami dialek Mesir yang sulit.
Tapi tetap saja, Kairo bukan Probolinggo.
Kesulitan dan Ujian
Di kelas, Yusron sering kali kesulitan memahami bahasa dosen yang berbicara cepat. Ia memang fasih dalam bahasa Arab klasik, tapi dialek Mesir sangat berbeda.
Suatu hari, dalam mata kuliah Tafsir Al-Jassas, dosennya bertanya tentang tafsir hukum dalam Surah Al-Baqarah.
“Man yastathi’ an yufassira hadzihil ayah?” (Siapa yang bisa menjelaskan ayat ini?)
Yusron tahu jawabannya, tapi lidahnya kelu. Ia takut salah bicara.
Seorang mahasiswa Sudan mengangkat tangan dan menjelaskan dengan lancar.
Saat itu, Yusron merasa tertinggal. Ia, yang dulu dikenal sebagai santri cerdas di pesantrennya, kini seperti anak kecil yang baru belajar.
Pelajaran dari Saudara Seperjuangan
Merasa frustrasi, Yusron mengunjungi salah satu seniornya, Ustaz Fauzan.
“Ustaz, saya merasa sulit mengejar mereka. Ilmu tafsir di sini begitu luas, dan saya kesulitan dengan bahasanya.”
Fauzan tersenyum. “Dulu saya juga seperti itu. Tapi ingat, di sini kita bukan hanya belajar tafsir, tapi juga belajar tentang kesabaran dan perjuangan.”
Ia melanjutkan, “Yang penting adalah istiqamah. Kalau lelah, istirahat, tapi jangan berhenti.”
Sejak saat itu, Yusron mulai mengubah kebiasaannya. Ia ikut diskusi lebih sering, mendengarkan podcast tafsir dalam dialek Mesir, dan memaksa dirinya berbicara bahasa Arab setiap hari.
Dari Kegagalan Menuju Pencerahan
Ujian pertamanya tiba. Yusron telah belajar keras, tapi hasilnya mengecewakan—nilainya hanya cukup untuk lulus.
Ia hampir putus asa.
Namun, komunitasnya tidak membiarkan ia terpuruk.
“Jangan khawatir, akhi. Banyak dari kita mengalami hal yang sama di awal,” kata salah satu temannya.
Dengan dukungan mereka, Yusron bangkit. Ia belajar lebih giat, memanfaatkan komunitas Al-Amri sebagai tempat berdiskusi dan bertanya.
Bukti dari Kesungguhan
Tahun demi tahun berlalu. Kini, Yusron bukan lagi mahasiswa yang kesulitan berbahasa.
Suatu hari, dalam kajian di Masjid Al-Azhar, ia mendapat kesempatan untuk menjelaskan tafsir Surah Al-An’am: 125 tentang bagaimana hati manusia bisa lapang atau sempit dalam menerima Islam.
Dengan penuh percaya diri, ia berbicara di hadapan para mahasiswa dari berbagai negara, merujuk pada tafsir Ibnu Katsir, Al-Zamakhsyari, dan Al-Qurthubi.
Setelah kajian, seorang dosen mendekatinya.
“Anta min Indonesia?”
“Na’am, ya Syaikh.”
“Kau membuktikan bahwa ilmu bukan soal asal negara, tapi siapa yang paling bersungguh-sungguh.”
Yusron tersenyum. Ia tahu, perjuangannya belum selesai. Tapi kini ia yakin, dengan tekad dan kesungguhan, ia akan menjadi bagian dari generasi ulama masa depan.(*)