Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Cerita di Masjid Biru

January 30, 2025 12:23
IMG-20250130-WA0055

Cerpen L K Ara

HATIPENA.COM – Langkahku gemetar saat memasuki pelataran Masjid Biru. Kubahnya yang menjulang dan menaranya yang melukis langit membuatku terdiam dalam kekaguman. Di bawah langit Istanbul yang berselimut jingga senja, aku merasa kecil, seolah dunia ini hanya milik-Nya, dan aku hanyalah seorang musafir yang tersesat di antara rindu dan doa.

Di dalam, keheningan merayap. Lantai marmar dingin menyambut telapak kakiku, menyentuhnya dengan kelembutan yang tak terjelaskan. Aku menundukkan kepala, memandang hamparan karpet merah yang seakan memanggilku untuk bersujud. Cahaya matahari sore menyelinap melalui jendela kaca patri, membentuk pola-pola warna-warni yang menari di dinding.

Aku menemukan sudut yang sepi, tempat di mana aku bisa berbicara dengan-Nya tanpa gangguan. Kutundukkan kepalaku, lalu bersujud. Dinginnya lantai marmar terasa seperti samudra yang menenangkan jiwaku. Aku mulai berbisik, merangkai kata-kata yang selama ini tersimpan di hati.

“Ya Allah, aku tahu aku tak kan lama di sini. Izinkan aku membawa kedamaian ini pulang. Negeri Gayo menantiku. Akar kehidupanku ada di sana, di tanah yang Kau ciptakan untukku. Namun, Masjid Biru ini… izinkan ia tetap menjadi kenangan abadi dalam hatiku.”

Sebuah suara kecil, seperti angin yang berdesir, menyelinap di telingaku. “Kamu adalah musafir, tapi hatimu akan selalu kembali ke tempat yang kamu sebut rumah.” Aku tersentak, namun senyap di sekelilingku tetap tak terganggu.

Ketika malam turun, azan Isya menggema, memenuhi ruang masjid dengan panggilan yang lembut namun penuh kuasa. Aku berdiri bersama jamaah, mengisi saf yang memanjang. Kubah biru di atas kami seolah menjadi langit lain, menghubungkan doa-doa kami dengan keabadian.

Saat itu, aku tahu, kenangan ini akan menemaniku seumur hidup. Lantai marmar yang dingin, gema azan yang memeluk, dan cahaya yang menyelinap di antara menara Masjid Biru—semua ini adalah bagian dari diriku, sama seperti tanah Gayo yang akan kutuju.

Ketika aku melangkah keluar masjid, kutatap kubah biru itu untuk terakhir kalinya. Hatiku penuh, dan aku tahu, meski raga ini jauh, jiwaku akan selalu kembali ke tempat ini.

Istanbul, 2019