Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Cerpen “Antara Madura dan Jepang”

December 27, 2024 16:02
Ilustrasi: Kecerdasan Buatan/Rosadi Jamani
Ilustrasi: Kecerdasan Buatan/Rosadi Jamani

CAK ANNAS berdiri di depan sebuah toko kerajinan di sudut Bali. Ia mengenakan kain sarung usang dan kemeja lusuh. Matahari sore membakar kulitnya yang gelap. Di hadapannya, seorang perempuan Jepang bernama Ichisawa Chikako, dengan rambut hitam legam yang tertata rapi, menatap dengan rasa ingin tahu. Pertanyaan pertamanya sederhana, tetapi mengguncang fondasi keyakinan mereka.

“Mengapa umat Islam di sini begitu damai? Di Jepang, Islam sering dikaitkan dengan perang,” katanya.

Cak Annas tersenyum, lugu dan tanpa pretensi. Ia menjelaskan dengan kata-kata yang sederhana, tentang Islam yang mengajarkan kasih sayang dan kedamaian.

Sejak itu, Chikako kembali ke Bali, berkali-kali. Lima ribu enam ratus sembilan puluh satu kilometer yang memisahkan Tokyo dan Bali terasa baginya seperti satu langkah kecil untuk bertemu Cak Annas. Cak Annas, lelaki desa keturunan Madura yang hanya lulusan SD, menjadi gravitasi yang tidak bisa ia hindari.

“Kamu bersedia menjadi ibu dari anak-anak saya?” tanyanya suatu sore. Chikako, tanpa ragu, mengangguk.

Pernikahan mereka di tahun 2010 membawa mereka ke Jepang, negeri di mana setiap sudut penuh keteraturan, tetapi dingin dan asing bagi Cak Annas. Ia hanya bermodal ijazah SD, bekerja serabutan. Puing-puing bangunan bekas tsunami 2011 menjadi ladangnya mencari nafkah. Dengan tangan yang kasar, ia mengumpulkan rongsokan dan membersihkan puing-puing.

“Asalkan anak-anak tidak kelaparan,” kata Chikako.

Cak Annas berjuang, bahkan saat harus melamar pekerjaan di perusahaan besar seperti Kubota. Ia tak tahu apa itu water pump. Tapi dengan tekad, ia belajar dari karyawan senior, memperbaiki mesin, dan akhirnya diterima sebagai mekanik.

Dari keterbatasan, mereka membangun kehidupan. Sepuluh hektar sawah di Prefektur Ibaraki menjadi saksi kerja keras mereka. Setiap musim semi, tangan Cak Annas dan Chikako menanam bibit padi. Anak-anak mereka, Sakura Asmaul Husna, Dewa Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Musashi Prajana Fathul Muslim, dan Kharen Sekar Arum Jannatul Balqis, tumbuh di antara hamparan hijau itu.

Ketika generasi muda Jepang enggan bertani, mereka menjadi anomali. Mereka tidak hanya bertani, tetapi juga mengajarkan anak-anak sekolah dasar tentang cara bercocok tanam. “Hasil panen dikembalikan ke mereka. Walaupun hanya sejumput, hati anak-anak itu tergerak,” kata Cak Annas.

Bagi Chikako, hijab hijau yang ia kenakan bukan sekadar kain. Itu adalah simbol keyakinan baru, cinta yang membuatnya meninggalkan karier di dunia perbankan. Ayahnya, seorang ketua Ikatan Dokter Hewan yang berpengaruh, sempat menentang. Tapi Chikako bertahan.

Mereka hidup dengan sederhana, tetapi jiwa mereka kaya. Teknologi pertanian modern menjadi alat mereka untuk mengelola 35 hektar lahan. Dari lumpur sawah, mereka menemukan surga kecil mereka.

Kini, mereka kembali ke Indonesia, berbagi ilmu tentang teknologi pertanian di Bangkalan. Di tengah gamis dan batik, anak-anak mereka, yang mewakili dua budaya, berjalan penuh percaya diri.

Di sela-sela workshop, Chikako mengungkapkan, “Saya awalnya hanya bertanya tentang Islam. Kini, saya hidup dalam Islam. Cinta saya kepada suami adalah cinta kepada keyakinan yang mempersatukan kami.”

Cak Annas menutup kisahnya dengan mata berkaca. “Kami tidak dipersatukan oleh pacaran atau romansa yang biasa. Kami dipersatukan oleh keyakinan dan kerja keras. Allah menyatukan hati kami, melampaui jarak, budaya, dan bahasa.”

Cinta mereka adalah cinta yang melampaui jarak, waktu, dan prasangka. Di sawah yang beku saat musim dingin, hingga hijau memerah saat musim semi, cinta itu terus tumbuh, menjadi panen abadi yang tidak pernah habis.

Sebuah kisah nyata, cinta tidak mengenal batas negara.

#camanewak

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar