Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Cerpen “Operasi Senyap Penangkapan Muterte”

March 12, 2025 10:45
IMG-20250312-WA0049

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Pukul 02.00 dini hari. Sebuah ruangan gelap hanya diterangi cahaya biru dari puluhan layar monitor. Orang-orang berseragam hitam dengan emblem ICC duduk melingkar. Wajah mereka tegang. Di tengah ruangan, seorang pria berkacamata tebal dengan suara berat membuka rapat, “Gentlemen, kita punya target besar. Rodrigo Muterte. Mantan Presiden Filipina. Kejahatan terhadap kemanusiaan. Ribuan korban. Hari ini, kita bawa dia ke Den Haag.”

Semua agen saling berpandangan. Ini bukan penangkapan biasa. Ini target kelas berat.

Tiba-tiba, sebuah telepon merah berdering. Agen yang duduk di meja paling depan langsung mengangkatnya. “Yes, Mr. President.”

Suara di ujung sana terdengar dingin. “Tangkap Muterte. Jangan gagal. Saya yang akan mengatur situasi di bandara.”

Si agen menelan ludah. Itu suara Presiden Filipina, Bangbong. Presiden yang baru menjabat setelah Muterte lengser. Masalahnya, Muterte bukan cuma mantan presiden, anaknya, Mara Muterte, sekarang jadi Wakil Presiden. Hubungan Bangbong dan Mara? Panas. Lebih panas dari cuaca Manila di bulan April.

“Laksanakan.”

Telepon terputus. Operasi dimulai.

Di layar besar, muncul peta Bandara Internasional Ninoy Aquino. Agen utama, seorang pria dengan kumis rapi dan gaya rambut belah samping, mulai bicara.

“Muterte akan mendarat pukul 09.45 dari Hong Kong. Kita punya waktu kurang dari lima menit untuk eksekusi.”

Tiga tim dikerahkan:

Tim Alpha – Infiltrasi bandara, menyamar jadi petugas keamanan.

Tim Bravo – Bertugas di ruang kendali, mengendalikan CCTV dan jaringan komunikasi.

Tim Charlie – Cadangan. Kalau Muterte kabur, mereka yang kejar.

“Kita pakai peralatan terbaru. Drone thermal, kamera wajah AI, dan peluru bius. Tidak boleh ada kekacauan. Muterte harus keluar dari bandara sebelum wartawan tahu.”

Seorang agen cewek dengan rambut pendek mengangkat tangan. “Kalau dia melawan?”

Pemimpin tim tertawa kecil. “Muterte udah tua. Kalau dia melawan, kasih dia kopi liberika.”

Semua tertawa. Kecuali satu orang yang duduk di pojok ruangan. Wajahnya dingin. Agen veteran, pensiunan Mossad. “Jangan remehkan Muterte. Dia mungkin tua, tapi dia mantan walikota Davao. Dia bisa bikin kalian menyesal.”

Semua terdiam.

“Baiklah. Jalankan misi.”

Pukul 09.40, Muterte muncul di gate kedatangan. Jaket kulit cokelat, kacamata hitam, gaya mafia Asia Timur. Dia menenteng tas kecil. Santai. Tidak sadar kalau belasan kamera AI sedang mengunci wajahnya dari berbagai sudut.

Tim Alpha mulai bergerak. Seorang agen menyamar jadi porter. “Selamat datang, Pak Muterte. Tasnya boleh saya bawakan?”

Muterte melirik. “Tak usah. Saya masih kuat.”

Tiba-tiba… “Bip Bip Bip!”

Suara alarm berbunyi. Tim Bravo sengaja memicu alarm keamanan untuk menciptakan kekacauan. Para penumpang panik. Muterte menoleh kiri-kanan. Tiba-tiba, tiga agen dengan jas hitam muncul dari belakang.

“Rodrigo Muterte, Anda ditangkap atas perintah ICC!”

Muterte mundur selangkah. Dia menatap tajam. “Apa ini?! Kalian tahu siapa saya?”

Seorang agen mencabut taser. “Kami tahu betul, Pak Muterte. Tapi dunia tahu lebih banyak.”

Muterte berbalik, mencoba kabur. Tapi di depan, dua agen perempuan dari Tim Charlie menghadang. Salah satu dari mereka berkata dengan senyum tipis. “Jangan buat kami pakai kekerasan, Pak.”

Muterte melompat, ya, pria 79 tahun itu melompat! Tapi sebelum kakinya menyentuh lantai… “Zzzzt!” Taser ditembakkan. Muterte terjatuh, tubuhnya bergetar.

“Target aman! Target aman!”

Saat Muterte diangkat dan diborgol, tiba-tiba suara megafon terdengar. “Rakyat Filipina, tetap tenang. Situasi terkendali.”

Di lantai atas bandara, Presiden Bangbong berdiri dengan jas biru tua. Senyumnya lebar. Wajah puas. Di belakangnya, kamera televisi merekam momen itu.

Sementara itu, di sebuah ruangan VIP, Mara Muterte menatap layar dengan wajah tegang. “Presiden brengsek itu! Ayahku bukan kriminal!”

Seorang penasihat mendekat. “Kita harus bertindak, Bu Wapres.”

Sara mengepalkan tangan. “Kita lihat siapa yang akan tertawa terakhir.”

Di sudut Kota Manulia sekelompok gembong narkoba sedang asyik ngopi dan tertawa riang. (*)

#camanewak