Ilustrasi : Wak Rojam
Penulis : Rosadi Jamani *)
HATIPENA.COM – Langkah kaki Mega terasa berat saat memasuki rumah sakit di Suwon. Aroma antiseptik menyeruak tajam, mengingatkannya pada betapa ringkih tubuh manusia di hadapan takdir. Di sampingnya, Noh Ran, libero Red Sparks, berjalan dengan tatapan serius. Gadis mungil ini berusaha mendukung Mega yang hatinya kacau.
Di dalam kamar rawat, Pawi terbaring lemah. Lutut kirinya dibalut perban tebal, matanya kosong, jauh dari semangat bertanding yang biasa Mega lihat. Cedera ligamen anterior cruciatum (ACL) dan meniskus lateral yang rusak telah merenggut mimpinya. Mega menelan ludah, mencoba menahan air matanya.
“Pawi…” suara Mega lirih.
Pawi menoleh pelan, memaksakan senyum yang lebih mirip kepedihan. “Mega… kamu datang.”
Mega duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat. Mereka sudah lama berteman, sama-sama berjuang di negeri orang demi mimpi di dunia voli. Kini, mimpi itu retak.
“Aku tidak akan bisa bermain lagi musim ini… mungkin selamanya,” bisik Pawi, tatapannya menerawang. “Aku selalu berpikir cedera itu hanya bagian dari permainan. Tapi sekarang, rasanya seperti… dunia ini sedang mengolok-olokku. Aku baru saja menemukan tempatku di Hillstate, ingin membawa timku juara lagi, tapi… aku bahkan tidak bisa berdiri tanpa bantuan. Aku bukan siapa-siapa lagi.”
Mega menggenggam tangan Pawi lebih erat. “Pawi, kamu bukan cuma pemain voli. Kamu adalah pejuang. Kamu bisa bangkit lagi.”
Air mata menggenang di pelupuk mata Pawi. “Tapi bagaimana kalau aku tidak bisa kembali sebaik dulu? Bagaimana kalau mereka menggantikanku? Bagaimana kalau aku tidak lagi cukup bagus?”
Mega mengangkat dagu Pawi, memaksanya menatap. “Aku tidak peduli seberapa lama waktu yang kamu butuhkan. Aku percaya, saat kamu siap, kamu akan kembali lebih kuat. Aku janji akan menunggumu di lapangan, di seberang net, seperti biasa. Aku tidak ingin kehilangan sahabatku.”
Pawi terisak. Mega memeluknya erat, membiarkannya menangis di bahunya. Noh Ran berdiri di dekat mereka, matanya berkabut. Air matanya juga berlinang membasahi pipinya.
“Kamu tidak sendirian. Aku di sini, Pawi. Aku selalu di sini. Apa pun yang terjadi, kita akan tetap berjuang bersama,” bisik Mega. Mendengar itu, mata Pawi merah penuh dengan linangan air mata. Mega berusaha memeluk tubuh Pawi yang terbaring lemas.
Di luar, salju turun perlahan, menggambarkan keheningan yang menusuk. Tapi di dalam kamar itu, dua sahabat saling menggenggam harapan yang rapuh, berusaha menyalakan kembali api yang hampir padam. Sebab bagi mereka, voli bukan sekadar permainan. Itu adalah mimpi, dan mereka akan berjuang sampai akhir. (*)
#camanewak
*) Ketua Satupena Kalbar