Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Malam itu, langit Desa Antibar seperti ikut berkabung. Tidak ada bintang. Tidak ada angin. Hanya diam yang tebal menyelimuti rumah kayu itu, rumah yang selama puluhan tahun menjadi saksi cinta paling tulus, paling sederhana, dan paling suci antara Salim dan Suherni.
Tepat pukul 00.05 WIB, Salim pergi.
Dengan tenang, tanpa suara. Di depan istrinya sendiri. Nafas terakhirnya keluar begitu saja, perlahan, seolah tak ingin menyakiti siapa pun, seolah minta maaf karena harus meninggalkan perempuan yang selalu menemaninya, dalam gelap dan terang, dalam lapar dan kenyang.
Suherni hanya menatap. Tak menjerit. Tak mengutuk takdir. Ia tahu waktunya sudah dekat. Tapi tahu… tidak pernah cukup untuk membuat kehilangan terasa ringan. Ia duduk bersimpuh di sisi jasad suaminya, membuka mushaf kecil yang telah lusuh dipegang berpuluh tahun. Dengan suara parau, ia mulai melantunkan Surat Yasin.
“Yaa Siin…” suaranya pecah, seolah satu-satu huruf itu harus ditarik langsung dari dasar dadanya yang remuk.
Tangis anak-anak mereka terdengar samar di sudut ruangan. Tapi Suherni terus membaca, menyeka air mata dengan ujung mukena, memeluk kehilangan dengan ayat-ayat yang selama ini mereka percaya akan menjadi penghubung di akhirat nanti.
Karena cinta mereka… memang tidak pernah niat untuk berhenti di dunia.
Tiga jam kemudian. Pukul 03.05.
Suherni sampai pada ayat ke-58:
“Salāmun, qawlan min Rabbir-Rahīm.”
(Selamat sejahtera, ucapan dari Tuhan Yang Maha Penyayang.)
Ayat itu selesai. Tapi hidupnya, ikut selesai.
Tangannya gemetar. Bibirnya terdiam. Matanya memandang wajah suaminya untuk terakhir kalinya… lalu ia jatuh. Tubuhnya rebah di atas jenazah Salim, seperti ingin memeluknya sekali lagi, sebelum dunia benar-benar melepaskan mereka.
Semua orang panik. Tapi hatinya sudah tenang. Ia sudah memilih. Ia tidak mau dunia tanpa Salim. Mungkin… Tuhan pun setuju.
Di puskesmas, dokter hanya mengangguk pelan. “Ia pergi dalam keadaan terbaik. Mulutnya masih basah dengan ayat suci,” ucap perawat sambil meneteskan air mata.
Suherni menyusul Salim, dengan cara paling agung yang pernah disaksikan bumi, wafat saat membaca Surat Yasin, di hadapan jenazah lelaki yang ia cintai seumur hidupnya.
Pagi harinya, dua liang lahat berdampingan di pemakaman muslim Desa Antibar. Warga berduyun-duyun. Tangis tak bisa ditahan. Bahkan langit pun tak sanggup menahan gerimisnya.
“Belum pernah aku lihat cinta seperti itu,” ujar Aryadi, mantan kepala desa, dengan mata sembab. “Itu bukan kematian. Itu pertemuan. Dua ruh yang tidak ingin dipisahkan oleh dunia.”
Anak-anak mereka berdiri mematung. Kecil. Bingung. Sunyi. Dalam waktu tiga jam, mereka jadi yatim piatu. Tapi cinta yang membesarkan mereka, cinta yang tak pernah ditulis di buku, tak pernah viral di layar kaca, telah menjadi legenda.
Salim dan Suherni dimakamkan berdampingan. Tidak perlu batu nisan mewah. Karena cinta mereka cukup jadi tanda abadi. Saksi bahwa kesetiaan itu nyata. Bahwa cinta yang berakar pada iman… mampu mengalahkan maut.
Mungkin, ketika malaikat datang, mereka berkata, “Wahai Salim, wahai Suherni… kalian telah selesai. Pulanglah. Bersama.”
Cinta mereka bukan cerita. Cinta mereka adalah pelajaran. Bahwa yang paling setia tidak selalu yang paling lantang. Tapi yang tetap bertahan, sampai akhir, bahkan setelah nafas terakhir. (*)
#camanewak