Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Cerpen Uang Palsu di Pilkada

December 20, 2024 07:16
Foto : Artificial Intelligence
Foto : Artificial Intelligence

Di sebuah sudut Warkop Gading yang aroma kopinya lebih legit dari mimpi-mimpi politisi, Wak Dalek dan Wan Dolah duduk melingkar di kursi plastik yang sudah mulai doyong. Malam Jumat ini, mereka baru saja pulang dari membaca Yasin di masjid kampung, mencoba menabung pahala sambil memastikan hidup tetap absurd seperti biasanya.

“Jadi, Wak, kau dengar itu berita di Makassar?” Wan Dolah membuka pembicaraan sambil menyeruput kopi yang lebih banyak gula daripada kopinya.

“Mana yang mana?” tanya Wak Dalek, meluruskan sarungnya yang sedikit terjepit kursi.

“Itu, yang perpustakaan UIN Alauddin, kok jadi percetakan uang palsu. Kepalanya, Andi Ibrahim, bos perpustakaan, malah jadi bos money laundry. Aduhai, dunia kampus kita ini makin canggih, ya? Dulu cuma jadi tempat mahasiswa tidur siang, sekarang jadi tempat pencetak uang palsu,” jelas Wan Dolah, matanya berbinar-binar antara kagum dan terhibur.

Wak Dalek mengangguk pelan, seperti seorang filsuf yang baru menemukan paradoks terbesar dalam hidupnya. “Aku baca itu juga, Wan. Bayangkan, barang bukti triliunan! Ada yang udah dipotong, ada yang belum dipotong. Ini mah bukan uang palsu lagi, ini seni origami!”

Keduanya tertawa terbahak-bahak, sampai-sampai tukang kopi menoleh dan tersenyum kecut.

“Kau tahu apa yang paling bikin aku takjub?” Wan Dolah melanjutkan, matanya mengecil seperti sedang menyimpan lelucon maut. “Mereka udah beroperasi belasan tahun, Wak! Belasan tahun! Itu artinya, ada mahasiswa yang lulus, menikah, punya anak, bahkan mungkin udah cerai, sementara uang palsu ini tetap dicetak di tempat yang sama!”

“Hebat, memang hebat!” Wak Dalek menyela, suaranya dibuat seperti komentator bola. “Ini baru namanya inovasi pendidikan tinggi! Slogan link and match mereka benar-benar diwujudkan, Wan. Kampus ini bukan cuma mendidik mahasiswa, tapi juga menghidupi ekonomi bawah tanah.”

“Kau tahu nggak, Wak,” Wan Dolah mendekatkan kursinya, seperti hendak membocorkan rahasia besar. “Kabarnya uang itu juga dipakai buat Pilkada. Jadi, kalau ada orang bilang demokrasi kita mahal, mereka lupa menambahkan, mahal karena ada yang nyetak uang palsu buat bayar segala macam ongkos politik.”

“Serem, Wan. Serem.” Wak Dalek menggeleng, tapi sudut bibirnya tetap tersenyum sinis. “Kampus jadi percetakan uang palsu. Besok-besok mungkin masjid sebelah kampus jadi tempat transaksi. Jangan-jangan nanti kalau kita wakaf, uangnya balik lagi ke kita dalam bentuk palsu.”

Keduanya terdiam sejenak, menatap kopi mereka seperti mencari jawaban atas absurditas dunia.

“Lalu, apa yang akan terjadi pada pelaku-pelaku itu, Wan?” Wak Dalek bertanya, nada suaranya penuh investigasi.

Wan Dolah tersenyum tipis, seperti seorang tokoh antagonis dalam sinetron. “Ah, biasa, Wak. Kalau bukan dihukum ringan, ya nanti dibilang korban sistem. Atau malah, kalau beruntung, mereka dapat jabatan baru. Soalnya, siapa tahu keahlian mencetak uang palsu itu dianggap skill yang transferable. Bisa dipakai di BUMN, mungkin.”

“Astaghfirullah, Wan.” Wak Dalek menepuk dahinya. “Negeri ini memang tak pernah kekurangan bahan cerita. Kalau kita menulis novel dari berita-berita seperti ini, mungkin kita bakal dapat penghargaan internasional. Genre-nya campuran antara komedi, horor, dan sains fiksi.”

Keduanya tertawa lagi. Kali ini lebih keras. Sampai suara gelak mereka mengisi malam Pontianak yang sunyi. Di luar, motor berlalu-lalang, membawa manusia-manusia yang mungkin tak tahu apa yang terjadi di perpustakaan UIN itu.

Wak Dalek dan Wan Dolah menatap langit, mencoba mencari bintang di tengah polusi cahaya. “Dolah,” kata Wak Dalek akhirnya, “kalau kita jadi Andi Ibrahim, mungkin kita bisa jadi doktor bahkan profesor. Kan sedap kalau dua profesor ngopi,” Suara tawa pensiunan itu kembali pecah.

Tiba-tiba mereka tersadar. Wan Dolah menatapnya dengan mata serius, tapi mulutnya tak bisa menahan senyum. “Ah, Wak. Aku nggak yakin kita cukup pintar menjadi doktor. Tapi kalau untuk jadi absurd, itu kita jagonya.”

Malam itu, Warkop Gading menjadi saksi dua sahabat yang masih setia merayakan ironi kehidupan, satu cangkir kopi tubruk no sugar berlebih dalam satu waktu.

#camanewak

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar