Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Cinta Sebatas Usia

February 1, 2025 13:13
IMG-20250201-WA0078

Cerpen Dewi Farah

HATIPENA.COM – Pagi itu rumah Mak Saninti dipenuhi oleh para tetangga. Beberapa dari mereka sibuk membantu persiapan kepulangan suaminya. Ya, Mak Saninti dan Romlah putri sulung tunggalnya sedang berduka. Pak Marsan meninggal ketika selesai melaksanakan sholat subuh. Terlihat para tetangga dan sanak famili ikut berkabung atas kepergian Pak Marsan lelaki lanjut usia yang penuh kesederhanaan nan baik.

Ia adalah lelaki kebanggaan Mak Saninti dan Romlah. Bagaimana mereka tidak bersedih, sebab sebelumnya Pak Marsan terlihat sehat dan baik-baik saja.

Kemarin pagi Pak Marsan bersama Mak Saninti masih melihat-lihat sawah di belakang rumahnya yang baru saja ditanami padi. Dan melanjutkan aktivitas bersama seperti biasa. Pagi itu, usai Pak Marsan sholat subuh, ia pamit ingin tidur sebentar di hamparan sajadah di kamar dan menyuruh Mak Saninti ke dapur untuk membuatkan secangkir kopi jahe kesukaannya.

“Buk, aku buatkan secangkir kopi jahe ya. Kalau kopinya sudah siap jangan lupa bangunkan aku Buk.” Pinta Pak Marsan

“Ya Pak.” Jawab Mak Saninti tanpa curiga. Iapun kedapur menyiapkan secangkir kopi pesanan Pak Marsan. Namun setibanya dikamar, ketika hendak membangunkan Pak Marsan suaminya, Mak Saninti berteriak.

“Romlah…! Romlah…!” Teriak Mak Saninti keras

Romlah pun segera berlari kearah suara dibilik kamar Mamak dan Bapaknya.

“Ada apa Mak? Kenapa Mamak berteriak sangat keras sekali?. Tanya Romlah penasaran.

“Lihat Bapakmu! Kenapa dari tadi Mamak bangunkan tidak bergerak?” Ujar Mak Saninti dengan penuh kekhawatiran. Romlah menggoyang-goyangkan badan bapak, sesekali menepuk pipi, membuka mulut dan mata. Namun tak ada reaksi. Romlah dan Mak Saninti semakin panik dan gemetar.

“Pak….! Bangun Pak…!,” Tetap saja Pak Marsan tidak merespons. Romlah kemudian bergegas menelpon bidan terdekat di kampung dan menunggunya di teras depan rumah. Selang lima menit kemudian bidan yang Romlah telpon datang. Iapun membawa bidan tersebut untuk memeriksa kondisi Bapaknya.

“Bagaimana Bu?” tanya Romlah penuh kecemasan

“Maafkan saya Mbak. Bapak sudah tiada. Bapak sudah meninggal.” Ujar Ibu bidan menyampaikan berita duka itu pada Romlah dengan kesedihan.

Isak tangis antara Romlah dan Mak Saninti pecah. Mereka tidak menyangka orang yang begitu mereka hormati dan cintai kini telah meninggal. Mak Saninti menangis sesenggukan melihat kepergian suaminya yang begitu cepat.

Romlah menghampiri Mak Saninti dan mereka saling berangkulan. Ibu bidan menelpon kepala desa dan beberapa orang-orang kampung atas meninggalnya bapak Marsan. Tidak lama kemudian kepala desa beserta istri, kerabat, tetangga sekitar berhamburan kerumah duka.

Mak Saninti masih dalam pelukan Romlah. Terlihat beberapa dari tetangga menenangkan mereka. Jenazah Pak Marsan dibawa menuju ketempat pemandian untuk disucikan, dikafani dan disholati di musholla kecil.

Nampak isak tangis dan duka yang mendalam menyelimuti keluarga kecil itu ketika jenazah Pak Marsan sudah dibawa kepemakaman umum desa. Sejak itulah lelaki yang mereka hormati pergi selamanya meninggalkan mereka dan dunia.

“Bapakmu nduk.., kini dia sudah pergi meninggalkan kita. Bapakmu adalah lelaki yang begitu bertanggung jawab terhadap keluarga. Mamak seperti belum siap ditinggal bapakmu..”. Tangis Mak Saninti kembali pecah.

Romlah menyeka air mata mamaknya dengan kelembutan dan cinta.

“Jangan bersedih begitu larut Mak. Urusan bapak terhadap dunia kini telah usai. Do’akan bapak agar kuburnya dilapangkan. Kasihan bapak jika kita terus menerus larut dalam sedih dan duka. Ikhlaskan kepergian Bapak. Mamak paham kan?” Romlah menguatkan Mak Saninti sembari memperbaiki rambut yang sudah penuh uban dengan rapi dibalik jilbab tuanya.

Mak Saninti sesenggukan menahan isak tangis, mengangguk pertanda setuju akan perkataan Romlah. Ia pun memapah Mamaknya keluar kamar, memegang erat lengan yang sudah mulai bergelambir itu.

Mak Saninti sudah terlihat siap menghadapi tamu yang sedari tadi menunggu kehadirannya. Mak Saninti hanya duduk termangu, sesekali melontarkan senyum tipis dan anggukan dari berbagai pernyataan dan pertanyaan beragam dari para pelayat yang datang. Romlah sesekali menimpali dan mengalihkan pertanyaan yang dirasa mengingat kesedihan mamak terhadap bapaknya. Karena hidup tidak selalu tentang tawa bahagia namun juga tentang tangis dan duka.

“Cinta pemberian bapak kepada kami hanya sebatas usia. Dan kami pun harus melanjutkan hidup dengan kisah baru tanpa hadirnya sosok orang yang kami cinta.

“Terimakasih Bapak Marsan. Cintamu yang sebatas usiamu ini akan terus lekang dalam hidup kami.” ujar Romlah (*)

Madura, 15 Desember 2024